MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam sejarah manusia, benturan antara tradisi dan modernitas seringkali terjadi. Dalam konteks umat Islam, telah banyak buku-buku tebal dihasilkan untuk menguraikan solusi untuk mendialogkan antara keduanya. Namun, upaya tersebut seringkali menemui jalan buntu karena sarjana Islam masih terjebak dalam pola pikir binarian. Dalam upaya mencari jembatan antara tradisi dan modernitas, Muhamad Rofiq Muzakkir menguraikan kelebihan dan kekurangan dari kedua aliran ini.
Modernitas
Menurut Rofiq, modernitas merupakan fakta obyektif yang tidak dapat disangkal. Sebagai fakta obyektif, tidak ada satupun orang yang bisa menghalau laju modernitas. Secara historis, modernisasi adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang ‘dianggap’ lebih maju sejak Revolusi Perancis (1789-1799) hingga awal abad ke-20. Banyak pemikir era Pencerahan memberi bekal intelektual sehingga proyek modernisasi Barat ini menjadi sangat bertenaga.
Akibat dari adanya modernisasi ini, Barat kini menjadi mercusuar ilmu pengetahuan kontemporer. Wacana sains, teknologi, sosial, ekonomi, bahkan teologi tampak tumbuh subur di dana. Menurut Rofiq, belajar ke Barat merupakan upaya untuk menggali hal-hal baru yang tidak dijumpai di Tanah Air karena keterbatasan sistem pendidikan. Di Barat juga dapat melihat melihat bagaimana ilmu-ilmu modern diproduksi. Dengan melihat aktivitas intelektual secara langsung, sarjana Islam dapat menjadi menjadi critical observer.
“Kenapa kita perlu belajar ke Barat karena kita ingin melihat pabrik pengetahuan di sana. Meski demikian, kita bisa menjaga jarak dengan mereka lalu melayangkan kritik. Kita bisa ambil semangat mereka dalam mengembangkan ilmu, tapi kita juga tidak perlu mengambil semua nilai-nilai dari Barat,” ucap Rofiq dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Spanyol pada Sabtu (18/03).
Akan tetapi, kekurangan dari diskursus keilmuan Barat ini ialah melahirkan apa yang disebut sebagai “zombie disciplines”. Dalam budaya populer, zombie merupakan makhluk menyeramkan yang berjalan di antara hidup dan mati. Mereka seperti budak tanpa pikiran yang dikendalikan seorang penguasa. Istilah zombie ini kemudian digunakan sebagai ungkapan yang menggambarkan disiplin-disiplin ilmu yang menyebarkan ide dan konsep namun tidak lagi mewakili realitas, yang terjadi malah terus membentuk pikiran dan imajinasi Barat. Disiplin ilmu yang telah menjadi zombie ialah antropologi, politik, ekonomi, bahkan sains.
Dampak dari zombie disciplines ini ialah adanya konstruksi identitas politik yang mematikan, kehancuran lingkungan yang sangat besar, peningkatan dramatis dalam psikopatologi individu dan perusahaan, semakin maraknya fenomena bunuh diri, perbedaan yang semakin menganga antara kaya dan miskin, dan masih banyak lagi. Menurut Rofiq, salah satu obat penawar untuk menyembuhkan ‘zombie disciplines’ ini ialah dekolonisasi.
Tradisi (Turats)
Menurut Rofiq, turats merupakan warisan intelektual Islam. Turats mengacu pada produksi intelektual manusia di dunia Islam sebelum modernisasi atau westernisasi. Turats merupakan akumulasi kekayaan intelektual Islam paling tidak selama duabelas abad. Di dalam turats terdapat warisan pemikiran dan budaya yang begitu berharga, terbentang dari ranah filsafat, tasawuf, kalam, usul fikih, tafsir, hingga ilmu hadis. Tidak heran bila ada seorang pemikir menyebut peradaban Islam adalah hadlarat al-nash.
“Peradaban Islam itu sejatinya peradaban turats. Ini tidak bisa dihindari karena turats merupakan identitas kita di masa lalu. Warisan ini merupakan akumulasi kekayaan intelektual Islam paling tidak selama duabelas abad,” terang Rofiq.
Salah satu aspek kelebihan turats ialah lahir secara organik. Turats merupakan produk dari pengalaman langsung masyarakat Islam, yang disusun dengan mental intelektual yang independen dan kreatif. Para ulama terdahulu secara merdeka dapat menulis gagasan hingga berjilid-jilid tebal tanpa dibebani dengan alam pikiran kolonial. Sebelum adanya kolonialisme Barat, sarjana Islam dapat mencurahkan segala ide dan pikirannya secara mandiri, bebas, dan otentik. Demikianlah, turats menyimpan nilai tentang pola berpikir islami yang dibutuhkan untuk menyikapi problematika kehidupan kontemporer.
Akan tetapi, aspek kekurangan dari turats adalah ia lahir dari konflik sektarian antar umat. Di era kontemporer ini, pembacaan turats dilakukan secara parsial, selektif, dan pilih kasih, sehingga lebih sering digunakan sebagai bahan bakar untuk berpolemik. Sayangnya, fenomena berbalas argumen dengan turats sebagai senjata andalannya ini lambat laun menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif. Misalnya, polemik yang tak pernah kunjung usai bahkan hingga berabad-abad lamanya ialah konflik antara Asy’ariyah dan Atsariyah.
Selain itu, para ulama terdahulu dalam merespon suatu persoalan yang ada di hadapan mereka. Sarjana Islam ketika itu tak lebih dari agen sejarah yang bekerja dalam lingkup situasionalnya, sehingga tak mudah untuk keluar dari konteks yang mereka hadapi. Sebagai pabrik intelektualitas sarjana Islam masa lalu, turats tidak bisa diimpor begitu saja ke ruang dan waktu yang berlainan. Lebih dari itu, turats menggunakan bahasa Arab klasik yang butuh keakraban untuk memahaminya.
Meski terdapat sejumlah kekurangan, Rofiq mendorong para akademisi Muhammadiyah untuk lebih familiar dengan turats. paradigma ekletik dan ekumenikal lebih baik ditinggalkan. Ia kemudian membeberkan daftar urutan prioritas penguasaan ilmu-ilmu tradisional, di antaranya: Bahasa Arab; wawasan sejarah umum tentang peradaban Islam; Usul Fikih; disiplin ilmu masing-masing (semuanya punya basis turast), misalnya politik, mampu membaca kitab karangan Al Mawardi; Usul Tafsir; dan Usul Hadis.
Setelah meninjau sisi kelebihan dan kekurangan dari modernitas dan tradisi, Rofiq kemudian menguraikan cara mengintegrasikan keduanya. Menurutnya, ada dua jenis integrasi, yaitu: pertama, mengintegrasikan ilmu-ilmu tradisional seperti bahasa, tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam; kedua, integrasi atau interprenetrasi antara ilmu-ilmu tradisional dan modern. Sosok paling paripurna dalam melakukan integrasi yang demikian ialah Imam Al Ghazali.
“Pada masa lalu, ilmu logika dibawa masuk ke dalam kajian usul fikih oleh Imam al-Ghazali. Ilmu logika mengikuti prinsip-prinsip usul fikih. Ushul fikih tidak berubah, hanya menerima pisau analisis dari disiplin logika yang berasal dari warisan Yunani,” terang Rofiq.
Hits: 575