MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam penyusunan kalender Hijriah, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki Wujudul Hilal. Kriteria awal bulan menggunakan teori ini adalah 1) telah terjadi ijtimak (konjungsi); 2) pada saat terbenam matahari, bulan belum terbenam; 3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar menyatakan bahwa Muhammadiyah hingga hari ini masih menggunakan kalender hijriah dengan metode hisab hakiki Wujudul Hilal yang sifatnya masih zonal dan belum global. Artinya, hanya bisa diterapkan di Indonesia dan tidak masyarakat Muslim di tempat-tempat lain.
Padahal, salah satu amanat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tidak lain memperjuangkan Kalender Islam Global. Hal tersebut bukan ikhtiar yang pertama mengingat Majelis Tarjih sejak 2015 hampir setiap tahun melaksanakan halaqah paham hisab. Pada 2018, bahkan sudah mengundang organisasi-organisasi lain.
“Kita baru berjuang. Kita harus sosialisasi dulu. Masyarakat harus paham dulu. Tidak bisa diberlakukan jika masyarakat belum paham nanti banyak terjadi perbedaan-perbedaan, itu menimbulkan hiruk-pikuk yang besar,” terang Prof Syamsul dalam Pengajian Tarjih edisi k-136 pada Rabu (19/08).
Karenanya, kata Prof Syamsul, memaksimalkan pemahaman lingkungan Muhammadiyah sebelum masyarakat muslim pada umumnya. Meski Majelis Tarjih telah menerbitkan Kalender Islam Global lengkap 12 bulan penuh sebagai langkah sosialisasi. Namun untuk kepentingan-kepentingan Persyarikatan, saat ini masih menggunakan kalender hijriah wujudul hilal.
Akan tetapi, Prof Syamsul menegaskan bahwa antara Kalender Islam Global dan kalender wujudul hilal pada prinsipnya sama yaitu pada aspek transfer imkanur rukyat. Perbedaannya, jika dalam Kalender Islam Global ruang lingkupnya seluruh permukaan bumi. Misalnya, imkanu rukyat yang terjadi di Buenos Aires, berlaku juga untuk kawasan New Delhi atau di belahan bumi lain yang hilalnya masih di bawah ufuk. Sementara kalender wujudul hilal yang sekarang dipakai Muhammadiyah hanya untuk wilayah Indonesia. Misalnya, imkanu rukyat yang terjadi di Kepulauan Riau, berlaku juga untuk daerah Ambon atau daerah lain yang berada di kawasan timur Indonesia.
“Jadi kita masih menggunakan kalender wujudul hilal. Kita belum menggunakan kalender Islam Global, masih berusaha. Jadi kita beri pengertian dulu ke masyarakat luas mengenani alasan-alasannya, kriteria dan prinsipnya harus dipahami dulu,” kata Prof Syamsul.
Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini menuturkan alasan kuat mengapa harus memberlakukan Kalender Islam Global agar umat Islam sedunia dapat melakukan selebrasi keagamaan secara serempak menyambut momen-momen penting seperti Idul Fitri, Puasa Ramadan dan yang paling utama Puasa Arafah.