MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—KH. Ahmad Dahlan menghindari deklarasi afiliasi mazhab tertentu. Hal tersebut sangat jelas sekali bagaimana Sang Pencerah ini membuat sebuah inovasi pendidikan tapi dibuat tampak terputus dari kalangan tradisional. Kiai Dahlan tidak mendirikan pesantren yang mengajarkan ilmu umum, tapi membangun sekolah umum yang mengajarkan agama, dengan nama Hollands Inlandsche School (HIS) Met de Qur’an Muhammadiyah.
“Karena Kiai Dahlan ngomong ini pesantren, tapi kok mengajarkan ilmu-ilmu yang belum diterima ketika itu, beliau ditolak (kalangan pesantren). Akhirnya Kiai Dahlan ‘menjualnya’ dengan brand Hollands Inlandsche School atau HIS tapi ada pelajaran keislamannya,” ujar Ayub sebagaimana yang diterima tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Ahad (13/03).
Selama ini, banyak yang menyimpulkan bahwa menggunakan brand HIS yang mengajarkan ilmu keislaman sebagai jalan dakwah perkotaan. Di mana ketika itu banyak orang sadar atau tidak sadar menjauh dari agama karena proses pendidikan. Selain itu, pendirian HIS Met de Qur’an Muhammadiyah juga dianggap untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan HIS Met de Bijbel.
Akan tetapi, ujar Ayub, pendirian HIS Met De Quran Muhammadiyah yang dilakukan Kiai Dahlan juga bisa dilihat sebagai sikapnya secara umum pada tradisi, termasuk mazhab akidah atau fikih. Beliau tetap mengikuti, meyakini, dan mengajarkan petuah para ulama Mazhab, namun tidak deklarasi secara terus terang. Keuntungannya ialah menarik simpati dari berbagai kalangan dan lebih leluasa berinovasi atau melakukan ijtihad untuk memajukan umat.
“Bayangkan jika beliau deklarasi gamblang, saya bermazhab ini. Lalu orang Muhammadiyah melakukan sesuatu yang pada waktu itu belum diterima di kalangan komunitas bermazhab, maka akan ditegur, ‘kalau memang kamu bermazhab A, kenapa melakukan ini, bukankah ulama mazhab A melarangnya’,” terang anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Sebagaimana Kiai Dahlan membuka inovasi pendidikan dengan tidak menganggu tradisi yang ada, begitu pula dalam wilayah pemikiran yang lebih luas. Kiyai Dahlan dan murid-murid utamanya adalah para ulama dengan kualifikasi ‘Islam Nusantara’ dengan formasi Asy’ari dalam akidah, Syafi’I dalam fikih, dan Ghazali dalam tasawuf. Tapi bukan itu yang utamanya ingin beliau wariskan lewat Muhammadiyah. Apa yang ingin diwariskan Kiai Dahlan adalah etos amal.
“Ini pembacaan saya pribadi, selama ini selalu tahu bahwa Muhammadiyah itu ya Dahlaniyyah. Karena Dahlaniyyah itu bukan mazhab akidah atau fikih. Yang mazhab akidah itu Asy’ariyyah, yang fikih itu Syafi’iyyah. Dahlaniyyah itu adalah etos. Etos yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh besar yang hidup di peralihan zaman, sebutlah ‘Abduh dan lainnya. Pengaruh mereka kepada Kiyai Dahlan itu tak terbantahkan,” ujar alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.