MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selenggarakan Diskusi Publik dengan tema “Proyek Infrastruktur Raksasa: Bendungan dan Solusi Palsu Krisis Air” pada (15/8) di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas dalam paparannya tentang tema diskusi menjelaskan bahwa Muhammadiyah berpihak ke masyarakat dengan kerja keras dan ikhlas. Hal itu dilakukan oleh Muhammadiyah karena tidak sedikit rakyat yang mengalami peminggiran-peminggiran.
“Rakyat jangan hanya menjadi sapi perah menjelang Pemilu.” Ungkap Busyro.
Mantan Ketua KPK ini menegaskan, posisi rakyat setelah Pemilu berlangsung seperti ‘habis manis sepah dibuang’. Dalam pandangan Busyro, hajat demokrasi yang berlangsung rutin telah ditaati oleh rakyat. Akan tetapi rakyat sering hanya dimanfaatkan suaranya — diminta menjalankan kewajibannya, tetapi ditelantarkan hak-haknya.
Oleh karena itu, Busyro mengapresiasi LHKP atas diselenggarakannya diskusi ini. Dia menyebut bahwa diskusi seperti ini adalah bagian dari risalah kenabian yang terus diperjuangkan oleh Muhammadiyah untuk mendapatkan keadilan, lebih-lebih bagi rakyat yang direbut haknya.
“Kami dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan terima kasih atas diselenggarakannya acara ini, semoga agenda ini mendapat rida dari Allah SWT.” Imbuhnya.
Ideologi developmentalisme atau pembangunanisme yang dimiliki oleh pemangku kebijakan di negeri ini tidak selalu berdampak positif. Misalnya seperti yang disampaikan Susi Mulyani dari Wadon Wadas yang menyampaikan bahwa pembangunan Bener di Wadas menyisakan banyak trauma. Terlebih bagi ibu-ibu dan anak-anak, mereka masyarakat yang mengalami langsung proses pembangunan.
Tidak sampai di situ, relasi sosial yang dijalin harmoni antar warga juga ‘bubrah’. Selain itu, lingkungan yang harapannya selalu terjaga dan lestari, karena ideologi pembangunanisme alam menjadi rusak. “Kami pengrajin besek, tapi bambu-bambu dihilangkan, kami jadi kehilangan — kesusahan bekerja. Di kami juga ada yang membuat gula aren,” ungkapnya.
Antara Pembangunan dan Kemanusiaan
Sementara itu dari The Ecosoc Right, Sri Palupi mengungkapkan bahwa di dunia terdapat 40 sampai 80 juta manusia tergusur akibat pembangunan, yang sebagian besar dari Cina dan India. Selain itu, anggaran untuk pembangunan bendungan seringkali mengalami pembangkangan.
Selain itu, teknologi bendungan yang direncanakan untuk menahan banjir dan pengairan lahan-lahan pertanian, acap kali gagal dan menyebabkan kerusakan lingkungan seperti hilangnya kawasan air dan punahnya aneka ragam hayati.
“Kita belum bisa mendapatkan berapa luas tanah yang hilang, karena rata2 pembangunan bendungan di atas lahan produktif,” imbuhnya.
Dalam ideologi pembangunanisme, menurut Sri Palupi, kematian manusia jarang dan hampir tidak pernah dibicarakan. Dia mencontohkan seperti terjadinya jebolnya bendungan di Cina yang mengakibatkan ratusan ribu manusia meninggal. Dalam pandangannya, proyek bendungan juga seringkali tidak demokratis.
Padahal ideologi pembangunanisme seharusnya menjadikan manusia sebagai faktor utama dari pembangunan itu meliputi penjaminan spiritual, budaya, materi dan seterusnya.
Tidak hanya di luar negeri, kerusakan akibat proyek bendungan juga terjadi di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Muhammad Riza, Koordinator KRUHA menyebut bahwa di Indonesia juga pernah terjadi kejadian tersebut. Di Indonesia memiliki masalah pada sejarah dan politik. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi rakyat untuk meneguhkan hak-haknya.
“Sudah terang benderang bahwa pembangunan bendungan untuk krisis air adalah solusi palsu.” Ungkapnya.
Oleh karena itu kebijakan perlu dilihat secara komprehensif. Karena tidak serupa dengan negara lain, maka Indonesia perlu membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks. Misalnya untuk solusi krisis air, tidak serta merta kemudian solusinya adalah dengan membangun bendungan. Sebab alih-alih memberi solusi, proyek bendungan malah menghadirkan masalah lain.
Hits: 123