MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Dipilihnya pendidikan sebagai inti gerakan Muhammadiyah oleh Kiai Ahmad Dahlan sedikitnya memiliki tiga landasan filosofis, demikian ungkap Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam seminar nasional DPP Ikatan Alumni UNY, Selasa (12/10).
Pertama, pendidikan sebagai bagian dari rekayasa sosial untuk memajukan bangsa Indonesia dan umat muslim yang saat itu sedang tertinggal. Kedua, pendidikan sebagai bagian usaha untuk membangun persatuan bumiputera yang saat itu dipisahkan oleh politik pecah belah yang diciptakan oleh Belanda.
“Ketiga, Kiai Ahmad Dahlan berusaha menjadikan pendidikan itu sebagai bagian dari sosialisasi dan gagasan pembaharuan khususnya mengenai Islam yang berkemajuan dan juga bagian dari upaya institusionalisasi gagasan-gagasan besar Kiai Ahmad Dahlan dalam kaitannya dengan konsep atau visi Islam yang berkemajuan itu serta bagaimana pendidikan itu menjadi institusi menciptakan kader,” ungkapnya.
Tiga filosofi penting ini menurut Mu’ti tersirat dalam pesan Kiai Ahmad Dahlan yang berbunyi “dadio kiai sing kemajuan lan ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (jadilah kiai yang berkemajuan dan jangan pernah lelah bekerja untuk Muhammadiyah).
“Nah inilah yang kemudian menjadi pembeda antara kiai dari Muhammadiyah dengan kiai pesantren pada waktu itu. Kiai-kiai di Muhammadiyah itu baca Quran, kitab, tapi ilmu-ilmu modern juga dikupas,” kata Mu’ti sembari menjelaskan bahwa pada masa itu pondok pesantren umumnya mengharamkan tulisan latin, ilmu umum, meja, kursi dan papan tulis.
“Karena itulah maka Kiai Dahlan berpesan dadio kiai yang kemajuan yang dia tidak kikuk dengan kemajuan dalam kemodernan dan dia tidak kikuk mengadopsi dan mengadaptasi berbagai sistem dalam pendidikan modern,” imbuhnya.
“Bahkan kita lihat Muhammadiyah masa awal juga tidak ragu menggunakan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Belanda. Ukuran untuk orang menjadi modern pada masa itu adalah dia menguasai bahasa Non Arab sehingga banyak dokumen Muhammadiyah masa itu ditulis dalam bahasa Belanda. Bahkan banyak tokoh Muhammadiyah itu kalau pidato ke-Belanda-belanda-an. Kalau sekarang ke-Inggris-inggris-an. Termasuk Kiai Syudja’ itu banyak sekali kutipan yang menggunakan bahasa Belanda,” jelas Mu’ti.
Terakhir Abdul Mu’ti mengartikan pesan Kiai Ahmad Dahlan yang berbunyi ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah sebagai perintah kaderisasi yang terikat dengan pesan lain Kiai Ahmad Dahlan yang berbunyi “Jadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan profesional lalu kembalilah kepada Muhammadiyah”.
“Jadi fungsi pendidikan sebagai institusi perkaderan itu melekat sampai sekarang ini menurut saya tapi dalam dimensi yang sangat luas sehingga kalau kita kaitkan dengan bagaimana kebijakan pendidikan Muhammadiyah sampai sekarang ini maka Muhammadiyah tetap mengembangkan sistem pendidikan yang holistik, integralistik dari sisi kurikulumnya kemudian mengembangkan sistem pendidikan yang inklusif-integratif dari sisi peserta didiknya,” pungkas Mu’ti.