Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum w. w.
Bolehkah membaca al-Quran dengan menggunakan pengeras suara di masjid, dengan tujuan agar lebih banyak orang yang mendengarkan/mendapatkan rahmat sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. al-A’raf: 204, dan atau dengan tujuan untuk syiar? (terutama di dalam bulan Ramadan yang salah satu kegiatan “menghidupkan” malam Ramadan tersebut dengan memperbanyak tadarus al-Quran)?
Pertanyaan Dari:
Bapak Wakidjo Az, Agen SM No.025, Pekalongan Metro, Lampung
(Disidangkan pada hari Jum’at, 18 Muharram 1435 H / 22 November 2013 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam w. w.
Bapak Wakidjo yang kami hormati, berkaitan dengan pertanyaan Bapak, terlebih dahulu kami akan membedakan antara urusan ibadah dan bukan urusan ibadah. Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan bahwa ibadah adalah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah, sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah, dan cara-cara yang tertentu. Sedangkan yang bukan urusan ibadah adalah semua hal yang di luar urusan itu.
Membaca al-Quran termasuk salah satu urusan ibadah, yaitu ibadah umum yang akan mendatangkan pahala dan rahmat bagi orang yang melaksanakannya, sedangkan pengeras suara bukan urusan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana saja.
Orang yang membaca al-Quran dan mendengarkan bacaan al-Quran akan mendapatkan rahmat dari Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam Q.S. al-A‘raf (7): 204 sebagai berikut:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Rahmat Allah itu akan didapatkan jika mendengarkan dan memperhatikan bacaan al-Quran dengan baik, bukan karena dikeraskan dengan pengeras suara. Jika tujuan menggunakan pengeras suara adalah agar lebih banyak orang yang mendengarkan dan untuk syiar, maka hal tersebut merupakan tujuan yang baik. Namun hal itu tidak menjamin semua orang akan mendapatkan rahmat karena bacaan al-Quran dengan pengeras suara tersebut. Hanya orang-orang yang mendengarkan dan memperhatikan saja yang akan mendapatkan rahmat.
Pengeras suara merupakan alat atau sarana yang bila digunakan pada tempatnya merupakan sesuatu yang baik dan membantu, dan bila disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar itu sumbang.
Dalam hal membaca ayat-ayat al-Quran atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat islam, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 110;
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً.
Artinya: “Katakanlah; Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (al-Asmaa al-Husna) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat beberapa riwayat yang menyangkut asbabun-nuzul ayat ini yang dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan Bapak. Pertama, menurut Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengeraskan suara beliau ketika membaca al-Quran dan orang-orang musyrik mendengarkannya dan memaki beliau, lalu Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa. Jika demikian dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan atau doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, melahirkan pandangan negatif atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk. Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berada di rumahnya berdoa dan membaca al-Quran dengan suara yang sangat lembut. Sebaliknya ketika melewati rumah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar suaranya sedemikian keras. Keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Bakar, mengapa terlalu mengecilkan suaranya, Abu Bakar menjawab: “Aku berbicara dengan Tuhanku (dan) aku merasa tidak perlu mengeraskan suara karena Dia telah mengetahui kebutuhanku.” Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya menjawab: “Aku menghardik setan, dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur.”
Berdasarkan dua riwayat di atas, yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain. Misalnya memperdengarkan bacaan al-Quran dengan pengeras suara pada waktu-waktu sebelum adzan agar orang-orang bersiap-siap untuk shalat, sebelum pengajian, sore hari menjelang berbuka, dan waktu-waktu yang lain. Mengecilkan pengeras suara misalnya pada waktu tengah malam atau siang hari ketika orang-orang sedang beristirahat, pada waktu shalat, dzikir, dan lain sebagainya. Dapat juga berarti perintah untuk tidak membaca terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya.
Oleh sebab itu harus lah dipertimbangkan antara manfaat membaca al-Quran dengan pengeras suara dan madaratnya, dan uraian di atas telah menjelaskannya. Dalam urusan ibadah, maka mengantisipasi kemadaratan hendaknya lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Jika demikian, maka tentunya membaca al-Quran tidak harus dengan pengeras suara apabila dirasa waktunya tidak tepat dan dikhawatirkan akan mengganggu pihak lain, akan tetapi tentu saja tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu dengan tujuan syiar selama tidak mengganggu.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No. 14, 2014
Hits: 1619