MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Konservatif awalnya merupakan tradisi Barat, terjadi ketika kaum agamawan merespon negatif temuan saintifik dari para ilmuan. Termasuk dalam politik, ketika terjadi revolusi Perancis direspon negatif oleh para pemegang status quo (kaum bangsawan).
Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Menurutnya, konservatifisme di Islam juga sempat menguat sejak abad pertama hijriah. Dalam pergerakan pemikiran Islam kemudian muncul dua aliran besar, yaitu ahlul al atsar yaitu mereka yang ingin kembali pada jejak masa lalu atau disebt sebagai gerakan salaf.
“Ahlul al atsar ini lebih pada pendekatan yang selalu literal-tekstual, baik Qur’an juga Hadis. Dan Imam Ibn Hambal sering disebut sebagai representasi dari gerakan ini,” ungkap Haedar pada Ahad (1/5) dalam Pesantren Ramadan AMM Jawa Tengah.
Kemudian di sisi lain ada ahlul al ra’yi, tokoh gerakan ini adalah Imam Abu Hanifah yang membuka ruang untuk ra’yu atau akal pikiaran. Termasuk juga Imam Syafi’I lebih dekat pola pemikirannya dengan kelompok ini. Kemudian di periode-periode selanjutnya muncul gerakan pembaharuan Islam (tajdid fil Islam).
Gerakan pembaharuan ini berangkat dari konteks kejatuhan umat Islam di Baghdad tahun 1258. Kemudian setelah kejatuhan ini juga terjadi perkembangan massif sufisme di kalangan umat Islam. Sehingga muncul tokoh Ibnu Taimiyah, yang melakukan pembaharuan dalam aspek teologi dan politik (as siyasah syar’iyyah).
“Nanti terreproduksi Wahabiyah, Muhammad Ibn Abdul Wahab lebih ke Hambali ketimbang ke Ibnu Taimiyah karena karakternya sangat konservatif,” sambung Haedar.
Kemudian juga ada Jamalludin al Afhghai dan Muhammad Abduh sebagai representasi golongan progresif yang khas dengan rasionlitasnya dan mengadopsi ilmu pengetahuan Barat. Menurut Haedar, jika dikelompokkan maka Abdul Wahab adalah tokoh tajdid dalam bentuk purifikasi-konservatif.
“Pergerakan-pergerakan ini kemudian melahirkan kebangkitan Islam. Tetapi al ba’ts al Islamy dan al shawa al Islamiy itu lebih dekat ke revivalisme Islam, yang arahnya ke Abdul Wahab, ke Salafy dan lain sebagainya,” ungkap Haedar
Kekhasan Pemikiran Kiyai Dahlan
Melacak pemikiran Muhammadiyah yang dididirkan oleh KH. Ahmad Dahlan, Haedar menyebut, dalam kitab-kitab bacaan Kiyai Dahlan tidak ada merujuk karya yang ditulis Muhammad Ibn Abdul Wahab. Tapi di sisi lain, Kiyai Dahlan membaca karya Rasyid Ridho dan Abduh. Dan pada pemikiran Sufi, Kiyai Dahlan membaca karya Al Ghazali.
“Kiyai Dahlan dalam penelusuruan saya dan beberapa penelitian itu nyaris memang lebih dekat ke Abduh. Dan tentu dalam pemikiran teologis ke Ibnu Taimiyah, dan tidak ke Wahab, dan juga tidak mengambil Pan-Islamismenya Afghani,” urai Haedar.
Menurut Haedar, kekhasan yang dimiliki oleh Kiyai Dahlan adalah pembaharuan Islam yang menghasilkan pranata sosial modern yang tidak dimiliki pendahulu. Misalnya, semangat Al ma’un yang melahirkan rumah sakit, rumah miskin dan yang lain.
Termasuk gerakan perempuannya juga tidak dimiliki oleh pemikir Islam sebelumnya, terlebih di Timur Tengah atau bahkan di India. Karena itu, Haedar menegaskan, bahwa Kiyai Dahlan tidak hanya mengikuti pemikiran tokoh pendahulu secara literal, melainkan dengan pembacaan kelokalan dan keluasan penegatahuan.