MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Dalam satu dasawarsa terakhir, umat manusia di banyak negara telah mengenal uang jenis baru yaitu mata uang kripto (cryptocurrency).
Berbeda dengan mata uang konvensional, mata uang kripto adalah aset digital yang penyimpanan maupun penggunaannya berbasis teknologi virtual atau internet.
Sesuai namanya, mata uang kripto mengandalkan sistem enkripsi sehingga tingkat keamanan dianggap lebih kuat daripada penyimpanan bank konvensional. Sifat desentralisasi (tidak terpusat pada bank tertentu) dengan kontrol dan pengawasan dari berbagai komunitas yang saling mencurigai dianggap semakin memperkuat keamanan uang kripto.
Dalam dunia Islam, wacana uang kripto merupakan hal baru. Pada tanggal 28 Desember 2017, lembaga fatwa Darul Ifta Al-Azhar Mesir merilis hasil kajian mereka bahwa mata uang kripto Bitcoin berstatus haram secara syariat. Status haram menurut Darul Ifta muncul karena unsur gharar. Unsur gharar sendiri adalah istilah fikih yang mengindikasikan adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang mengarah merugikan salah satu pihak.
Satu bulan pasca fatwa Darul Ifta Al-Azhar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 11 catatan tentang mata uang kripto Bitcoin. Di antaranya, MUI menjelaskan bahwa Bitcoin memiliki dua hukum terpisah, yaitu mubah dan haram. Hukum mubah diberlakukan jika Bitcoin digunakan hanya sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima. Sementara itu hukum haram diberlakukan jika Bitcoin digunakan sebagai investasi.
Perlukah Muhammadiyah Menanggapi ?
Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fahmi Salim menyatakan bahwa di dunia Islam belum ada fatwa khusus yang dapat dijadikan pedoman untuk bersama-sama menyepakati hukum uang kripto. Tingkat kebaruan yang cukup rumit, menurutnya membuat para ulama sebagian besar tidak tergesa-gesa memberi hukum, termasuk Muhammadiyah.
“Para fuqaha sangat berhati-hati untuk memfatwakannya,” ungkapnya dalam Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ahad (14/2). Secara pribadi, Fahmi Salim berpendapat bahwa hukum mata uang kripto tergantung pada penggunaannya apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan.
“Teknologi ‘kripto’ ini sebetulnya adalah bebas nilai. Kalau digunakan untuk melahirkan produk yang haram atau jasa yang haram, maka produknya haram. Kalau digunakan untuk menghasilkan yang halal maka produknya bisa tetap halal,” jelasnya. Akan tetapi, Ulama muda jebolan Al-Azhar Kairo tersebut cenderung menghindari penggunaan mata uang kripto karena fungsi mata uang kripto belum diakui oleh negara sebagai alat tukar, timbangan ataupun komoditas. Belum lagi, angka fluktuasi mata uang kripto yang dapat berubah secara tajam dalam waktu singkat.
“Jadi kita jangan ikut latah, ikut-ikutan, belum jelas, lalu karena mungkin sedang tren, lalu merasa nah ini alat investasi yang baru,” himbau Fahmi. Ia juga berharap Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai dapur fatwa Muhammadiyah semakin aktif memberikan kajian dan fatwa pada isu-isu kontemporer. “Masalah ini menjadi perhatian, kita minta Majelis Tarjih harus menyikapi dan memberikan panduan keagamaan terhadap mata uang kripto ini,” ujarnya.
Editor: Fauzan AS
Hits: 101