MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Gerakan pencerahan (tajdid) Muhammadiyah digagas untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam yang melahirkan peradaban terbaik. Posisi Madinah Al Munawarah dianggap menjadi contoh ideal dari makna pencerahan Islam tersebut.
“Dakwah Nabi Muhammad selama 23 tahun kami terjemahkan sebagai gerakan pencerahan rahmatan lil ‘alamin sehingga membangun apa yang di tonggaknya disebut Madinah Al Munawarah dari yang asalnya bernama Yatsrib,” ungkap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Dalam forum Pusat Studi Asia Tenggara UGM, Sabtu (1/5) Haedar memaparkan bagaimana Nabi berhasil mengubah masyarakat jahiliyah dan menjadikan Madinah sebagai pusat berangkatnya peradaban Islam.
Lima ciri masyarakat jahiliyah seperti berniaga secara ribawi, politik oligarki, merendahkan martabat perempuan, primordialisme tajam antar suku, dan penyelesaian masalah melalui jalur kekerasan berhasil diubah oleh Nabi dengan dakwah Islamnya.
“Nah setelah Islam datang, mereka berubah menjadi masyarakat berperadaban dan sejak itu Islam selama berabad-abad menjadi agama dunia, agama yang kosmopolit,” ujarnya.
“Dari situ Muhammadiyah mengambil tonggak atau milestone bahwa gerakan pencerahan itu lahir dari tradisi Islam. Dari Nabi Muhammad. Nah, kebetulan (nama) Muhammadiyah sendiri dinisbahkan pada nabi akhir zaman,” imbuhnya.
Haedar menjelaskan, Muhammadiyah berusaha meniru dakwah Nabi dengan membangun kehidupan yang menjadi rahmat bagi siapapun di bumi Indonesia.
“Bapak ibu bisa cek dalam usaha kita selalu ada dimensi-dimensi untuk membebaskan. Dari mereka yang asalnya miskin, tidak berdaya, lalu kita berdayakan, kemudian dia harus maju. Tidak cukup dia berdaya saja,” ungkapnya.
Wilayah terluar dan tak terjangkau seperti pulau-pulau kecil di sekitar NTT, Papua, dan banyak daerah lainnya menurut Haedar telah dijamah oleh Muhammadiyah dengan mendirikan sekolah atau klinik untuk umat pemeluk agama dan ras apapun.
“Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural,” jelas Haedar.