MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Pandemi Covid-19 turut menyingkap rapuhnya konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang tengah berlaku di dalam kerangka negara kesatuan seperti Indonesia.
Pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu (16/3), peneliti LIPI sekaligus guru besar ilmu politik, Prof. Syarif Hidayat, Ph.D menjelaskan lima persoalan mendasar menyangkut implementasi konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Pertama, terjadi ambivalensi orientasi desentralisasi antara orientasi ideologis dengan orientasi teknikal. Secara ideologis, pemerintah daerah (pemda) ingin menjalankan sistem pemerintahan demokratis, namun terbentur dengan para eksekutif di pemda yang ingin mendukung legitimasi penguasa sehingga otonomi berjalan dengan kontrol ketat pemerintahan pusat.
Kedua, prinsip desentralisasi belum sepenuhnya teraktualisasi. Bagi Indonesia yang bukan berbentuk sebagai negara federal, sejatinya prinsip yang digunakan adalah desentralisasi asimetris.
“Ironisnya yang terjadi di Indonesia sejauh ini menjalankan prinsip yang simetris atau seragam,” kritik Syarif.
Ketiga, akibat dari desentralisasi simetris, maka keanekaragaman lokal tidak terkelola karena setiap daerah dipukul rata oleh pusat.
Keempat, konsep dan implementasi otonomi daerah justru didominasi oleh pemerintah pusat. Unsur society, yaitu masyarakat ekonomi (pasar) atau sipil hampir selalu tidak diberi porsi dalam pembentukan kebijakan sehingga sering memunculkan konflik. Misalnya tiba-tiba lahir kawasan industri atau pertambangan.
Kelima, otonomi cenderung bersifat pragmatis-parsialistik dan lebih berorientasi pada kepentingan penguasa. Keluhan pengusaha sering menyebabkan pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan sepihak.
“Artinya berbagai kebijakan yang kita keluarkan denga reformasi desentralisasi dan otonomi daerah itu didasarkan pada penggalan peristiwa, bukan rangkaian peristiwa,” jelasnya.
Lima Rekomendasi Revitalisasi Sistem Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Atas akar permasalahan di atas, Syarif Hidayat mengajukan lima rekomendasi sebagai solusi perbaikan sistem desentralisasi dan otonomi daerah.
Pertama, menganjurkan aktualisasi konsep desentralisasi dalam negara kesatuan sesuai kaidah-kaidah dasar, yakni desentralisasi yang bersifat asimetris dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Kewenangan pokok dan kewenangan sektoral dikelola bersama, kecuali bagi daerah yang belum memiliki kesiapan sumber daya manusia.
Kedua, menganjurkan reformasi konsep tata kelola desentralisasi dari decentralization for good governance menuju decentralization for proper governance. Konsep Good Governance yang telah dikritik sejak tahun 1980-an kata Syarif banyak dianggap gagal karena hanya mengandalkan sisi developmental dan penegakan prinsip demokrasi. Sementara itu dua hal lain yang lebih penting dalam otonomi daerah yaitu inklusivitas sosial dan local context justru diabaikan.
“Pemerintahan tata kelola akan bisa berjalan apabila ditopang oleh empat pilar, tidak hanya developmental dan democratic sebagaimana yang ditekankan oleh good governance, tetapi harus ditambah dengan adanya prinsip inklusivitas sosial dan mengakomodasi kekhususan dan karakteristik lokal,” terangnya.
Ketiga, menganjurkan restorasi konsep otonomi daerah dari otonomi pemda menjadi otonomi pemerintah dan masyarakat daerah. Otonomi selayaknya tidak berpikir pada kepentingan pemerintah saja, tetapi juga kepentingan masyarakat sipil di daerah tersebut.
Keempat, menganjurkan rekonstruksi pendekatan kebijakan desentralisasi yang holistik, tidak pragmatis dan berorientasi pada kepentingan penguasa.
Kelima, menganjurkan revitalisasi pendekatan studi desentralisasi dari interdisiplin dan multidisiplin menjadi studi transdisiplin. (afn)