MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Tanpa kelahiran Muhammadiyah dengan terobosan di bidang pendidikan modern, sulit membayangkan Indonesia lebih cepat meraih kemerdekaan dari kolonialisme.
“Tidak mungkin negara kecil seperti Belanda bisa menguasai kita begitu lama, padahal Belanda itu dijajah Spanyol 80 tahun. Itu menggambarkan kita berada di titik lemah karena kelemahan strategi dan penguasaan, baik iptek, ekonomi dan keduniawian,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam forum Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PP Muhammadiyah, Sabtu (13/3).
Bagi profesor di bidang sosiologi itu, Muhammadiyah berhasil membenahi alam pikiran umat muslim Indonesia sehingga upaya menghadirkan kemajuan kehidupan, termasuk kemerdekaan lebih efektif dibandingkan sebelumnya.
“Maka sejak itu, gelombang anak-anak didik dari kaum modernis ini menguasai berbagai struktur baik di pemeritahan maupun di institusi-institusi kemasyarakatan. Jadi ini merupakan suatu tonggak yang boleh jadi kita di belakang hari menganggap biasa-biasa saja,” terangnya.
Menurut Haedar, tak sedikit para ilmuwan seperti Kuntowijoyo, Deliar Noer, van Neil, Nakamura dan sekian peneliti asing lainnya menguatkan pernyataannya itu bahwa Muhammadiyah mampu mengubah peta sosiologis umat Islam di tanah air.
“Dari Rahim gerakan Islam modern ini juga tampil kader dan elit muslim yang berpemikiran maju tapi punya dasar ilmu keagamaan yang kuat seperti ditampilkan Kiai Dahlan. Sebutlah sejak Cokroaminoto, Kiai Dahlan, Agus Salim, belakangan Natsir, Hamka, Ki Bagus, Pak Kasman, Moh. Roem, bahkan Soekarno, itu kan ada pride ketika dalam menjadi bagian dari Muhammadiyah sebagaimana pengakuan Soekarno,” jelas Haedar.
Lebih jauh, ketika perdebatan di BPUPK, PPKI hingga di Majelis Konstituante, kader-kader Muhammadiyah menurutnya mampu tampil dengan argumen yang kritis dan rasional soal konsep negara bangsa baik dari sudut pandang Islam atau positif.
“Bahkan bicara soal konsep Islamic State saat itu yang paling siap punya konsep negara dan kemodernan adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah itu. Jadi mereka siap berdialog, bahkan berdebat dengan tokoh-tokoh yang lulusan pendidikan Barat atau aliran rasionalis. Itu kan perdebatannya luar biasa dan kaya ilmu,” ungkapnya.
Atas kekuatan basis ilmu itu dan tidak berlaku fanatik, tokoh-tokoh kontroversial yang berseberangan dari aliran kiri seperti Semaon maupun Suryopranoto menurutnya tetap nyaman berinteraksi dengan Muhammadiyah.
Karenanya, Haedar berharap Pesantren Muhammadiyah ke depan mampu kembali melahirkan generasi muslim yang maju dan terbuka sebagaimana di masa Kiai Dahlan.
“Kami tidak ingin generasi lulusan pondok pesantren Muhammadiyah 50 tahun ke depan lebih berat lagi, karena itu kapasitas dan orientasinya harus lebih lain dari generasi kita. Mata rantai Kiai Dahlan direproduksi lagi dengan format dan orientasi yang lebih baik karena kata Kiai Dahlan Muhammadiyah yang akan datang berbeda dengan Muhammadiyah saat ini. Karena itu kader Muhammadiyah harus melintas batas melampaui dari apa yang telah dirintis oleh Kiai Dahlan, apalagi oleh kami-kami yang terbatas ini,” tutupnya.
Hits: 7