MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Meski 89 persen bangsa Indoneia dianggap moderat sesuai survei terbaru Balitbang Kementerian Agama dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai konstruksi toleransi antar umat beragama di Indonesia masih bermasalah. Uniknya, masalah itu terjadi lebih besar di antara sesama agama.
“Ada temuan lain yang menarik dari sisi indikatornya bahwa kerjasama antar umat beragama itu sangat tinggi skornya dan kerukunan antar umat beragama itu lebih tinggi dari kerukunan intern umat beragama,” ungkap Mu’ti dalam forum diskusi Nurcholis Madjid Society, Selasa (7/9).
Kasus terbaru intoleransi terhadap jemaat Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat pada 3 September 2021, menurutnya adalah contoh nyata yang relatif konsisten terjadi dari tahun ke tahun.
“Menurut saya memang masih menjadi catatan khususnya terkait dengan konstruksi kerukunan di Indonesia ini sesungguhnya belum cukup kokoh. Ini satu hal yang saya kira memang secara jujur harus kita akui seperti itu,” kata Mu’ti.
Bukan hanya kelompok minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, Kristen, Katolik dan agama lainnya, kelompok keagamaan seperti Muhammadiyah menurut Mu’ti juga pernah menjadi korban. Misalnya dalam usaha pendirian tempat ibadah.
“Ketika Muhammadiyah mendirikan masjid di Bireun, sudah dapat izin, sudah dibangun dan itu dirusak sampai sekarang juga tidak berani dan tidak bisa dilanjutkan pembangunannya. Termasuk juga ada beberapa kasus di daerah lain,” sebutnya.
“Dan kadang-kadang alasannya adalah regulasi terutama peraturan bersama menteri tentang pendirian tempat ibadah (SKB) sehingga memang aturan itu justru menjadi celah bagi kelompok tertentu yang memiliki toleransi yang bersifat formalitas itu untuk kemudian menggalang berbagai gerakan agar pendirian tempat ibadah itu tidak terpenuhi persyaratannya,” imbuh Mu’ti.
Belum terbangunnya toleransi otentik di antara umat beragama di Indonesia diharapkan Mu’ti menjadi perhatian para pemuka agama dan pemerintah untuk menguatkan pemahaman moderat dan inklusif.
“Dalam konteks kita membangun kehidupan beragama yang harmonis dan konstruksi kerukunan yang lebih kuat dalam konteks kita membangun kerukunan yang sejati itu memang masih membutuhkan waktu dan membutuhkan kerja yang secara bersama-sama yang harus kita lakukan lebih sungguh-sungguh lagi,” pesannya.
Hits: 3