MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ahli Kajian Islam dan Gender, Lies Marcoes menyebut terkait dengan peran Muhammadiyah melalui Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dalam urusan kemanusiaan merupakan respon tepat yang diberikan Muhammadiyah terhadap masalah kesehatan bangsa.
Menurut Lies, masalah kesehatan yang mendera masyarakat selain disebabkan praktek-praktek kultural juga disebabkan oleh praktek struktural. Waktu itu meski Pemerintah Hindia Belanda melakukan politik etis, namun di sisi lain pajak yang dikenakan oleh pemerintah kolonial sangat tinggi. Hal itu berdampak pada rendahnya penyediaan makanan bergizi bagi anak-anak.
“Karena itu rakyat petani terutama mengalami kemiskinan yang luar biasa, dan dalam struktur keluarga yang timpang”. Tutur Lies di acara Seminar Nasional ‘Aisyiyah pada, Senin (11/6) secara hybrid.
Ketimpangan struktur keluarga menjadikan anak-anak perempuan dan difabel menjadi kelompok mustadh’afin. Mereka menjadi kelompok rentan di tengah kondisi sosial dan politik yang ‘menghisap’.
Muhammadiyah melalui PKO dan advokasi yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah berjuang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sampai sekarang. Relasi sosial dan politik terus berkembang, termasuk masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat umum juga mengalami perubahan. Kekinian, sebagai buntut dari yang lalu-lalu, masalah yang krusial dan dihadapi oleh ‘Aisyiyah dan gerakan perempuan lain adalah masalah perkawinan anak.
“Perkawinan anak sudah dibahas, atau sudah diperjuangkan sejak masa seratus tahun lalu atau seratus lebih”. Imbuhnya.
Gerakan perempuan Indonesia telah concern pada masalah ini sejak jauh sebelum kemerdekaan, selain oleh ‘Aisyiyah jejaknya juga termuat dalam surat-surat yang ditulis oleh RA. Kartini. Termasuk masalah stunting atau kuntet pada anak merupakan masalah yang sudah mengakar pada kehidupan bangsa Indonesia.
“Stunting itu juga terjadi sejak masa bukan di belakangan ini, itu sejak masa kolonial di saat ‘Aisyiyah, di saat Muhammadiyah berdiri. Itu sebabnya Muhammadiyah mendirikan PKO,” ucap Lies.
Rendahnya ketersediaan makanan dan makanan bergizi itu terjadi lebih-lebih ketika masa pendudukan Jepang. Menurut Lies, di masa pendudukan Jepang terjadi ‘penghisapan’ yang sangat besar terhadap kekayaan bumi putera. Akibatnya kelaparan yang dalam di alami oleh anak-anak termasuk orang tua. Bagi anak-anak berdampak pada stunting atau kuntet.
“Politik etis yang sepertinya baik kepada masyarakat Indonesia, Bumi Putera pada waktu itu dengan menyediakan pendidikan, boleh berpolitik dan lain sebagainya. Tapi pada saat yang bersamaan Pemerintah Kolonial itu memaksakan penanaman Pohon Jarak yang menyebabkan orang tidak bisa makan ketela,” tuturnya.
Kesengsaraan umat terjadi bukan karena alam Indonesia tidak mampu memberi kepada rakyat Indonesia, tetapi lebih karena sistem politik yang menyebabkan kelaparan yang berakibat stunting.