Islam Murni Menegasikan Budaya Lokal?
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan dakwah ala Muhammadiyah adalah membersihkan akidah dan ibadah dari unsur-unsur yang dapat mencemari tujuan dan maksud ajaran agama Islam bagi perbaikan masyarakat.
Apa yang dapat mencemari “Islam” juga telah disebutkan di antaranya adalah penghayatan ritual dan spiritual yang bercampur dengan penalaran yang disandarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, atau sekadar mengikuti adat-kebiasaan tanpa mempertimbangkan relevansinya untuk kehidupan kemasyarakatan yang lebih maju.
Dengan demikian jelas bahwa Muhammadiyah tidak menentang kearifan atau budaya lokal. KH. AR. Fakhruddin sendiri merupakan pimpinan Muhammadiyah yang sangat lekat dengan praktik kebudayaan. KH. AR Fakhruddin misalnya mengelola majelis pengajian yang diajarkan menggunakan bahasa Jawa. Juga, menulis buku keislaman dalam bahasa Jawa dan huruf Jawa. Sejauh elemen atau entitas budaya menjadi sarana komunikasi atau menjadi bagian penting dalam memajukan masyarakat, maka Muhammadiyah tidak mungkin menegasikan arti pentingnya.
Oleh karena itu, jika ada kesan Muhammadiyah bersikap menolak budaya lokal, tentu ada konteks dan penjelasan lebih lanjut. Dalam praktiknya, budaya lokal seringkali diadaptasi dan direvitalisasi oleh aktivis Muhammadiyah untuk tujuan yang sangat substantif. Contoh lain budaya lokal yang direvitalisasi adalah praktik penghormatan terhadap alam melalui sesajian atau kepercayaan mistik yang diubah oleh Muhammadiyah menjadi konservasi ekologi, melalui kampanye deforestasi, pemberdayaan masyarakat nelayan, dan lain sebagainya.
Sebagaimana bisa disimak pada kutipan-kutipan di atas, bagi Muhammadiyah Islam adalah petunjuk atau panduan untuk menciptakan tata kehidupan yang aman, bermartabat, dan egaliter bagi semua orang. Maka, jika ada gaya hidup yang dapat mencelakakan atau memberi dampak mudarat lebih besar, maka di situlah Muhammadiyah ambil peran untuk “memurnikan” atau “membersihkan”. Maka, tidak semua budaya lokal otomatis merupakan atau mendatangkan khurafat atau syirik. Perlu pengkajian lebih jauh.
Kajian Burhani (2016) membuka pemahaman baru bahwa Muhammadiyah sesungguhnya kerapkali memanfaatkan budaya dan tradisi lokal untuk memperkenalkan atau menarik simpati masyarakat. Muhammadiyah tidak mengharamkan budaya dan tradisi lokal sebagaimana yang diduga banyak kalangan. Kendati ada praktik yang terkesan “meminggirkan” budaya lokal, maka pada dasarnya yang dipurifikasi terkait aspek aqidah dan ibadah. Muhammadiyah misalnya hingga hari ini masih melestarikan budaya lokal khas nusantara berupa bela-diri seperti pencak silat melalui Tapak Suci. Contoh lain, dalam penggalangan dana berupa infak untuk kegiatan atau pembangunan, di dekade 1920-an dan 1930-an, aktivis Muhammadiyah kerap menyelenggarakan pagelaran wayang atau musik gamelan.
Yang Sebenar-Benarnya, Satu-Satunya
Sebagaimana kajian Azra (2018) dan Saleh (2020), Muhammadiyah bukan yang pertama mengusung misi “pemurnikan Islam”. Kira-kira sejak abad XVII, ulama-sufi seperti Nuruddin al-Raniri (wafat 1666), Abdul Rauf Singkili (wafat 1699), dan Syekh Yusuf al-Makassari (wafat 1969) sudah melakukan upaya “pemurnian” praktik berislam masyarakat nusantara dari kebiasaan yang dianggap tidak sesuai syariat Islam.
Meskipun ada saling-silang keterhubungan genealogis antara ide dakwah “Islam yang murni” oleh Muhammadiyah dan gagasan keislaman sebelumnya, Muhammadiyah punya pandangan yang berbeda. Hal ini dapat disimak dalam Pokok-Pokok Pikiran Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (dikutip dari Nashir, 2014). Pada poin pertama disebutkan bahwa “hidup manusia harus berdasarkan Tauhid (meng-esa-kan) Allah: bertuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.”
Poin kedua, “hidup manusia itu bermasyarakat.” Poin ketiga, “hanya hukum Allah yang sebenar-benarnya, satu-satunya yang dapat dijadikan sendi dan landasan untuk membentuk pribadi muslim yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (bermasyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan di akhirat.” Poin keempat, “berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat ikhsan dan ishlah kepada manusia/masyarakat.”
Poin kelima, “perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya hanya akan dapat berhasil bila dengan mengikuti jejak (ittiba’) perjuangan para Nabi terutama perjuangan Nabi besar Muhammad s.a.w.” Poin keenam, “perjuangan mewujudkan pokok-pokok pikiran tersebut hanya akan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya dan berhasil bila dikerjakan dengan cara berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya.
Pokok pikiran ketujuh atau yang terakhir, “pokok-pokok pikiran seperti yang diuraikan dan diterangkan di atas adalah yang dapat untuk mewujudkan, keyakinan dan cita-cita hidupnya terutama untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-citanya, ialah terwujudnya masyarakat adil dan Makmur, lahir dan batin yang diridhai Allah, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Hits: 2195