Pernikahan diatur sedemikian rupa dalam Islam untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan menjaga keturunan. Salah satu aturan dalam Islam mengenai pernikahan adalah adanya orang yang boleh dinikahi dan ada yang tidak. Sebab-sebab orang tidak boleh dinikahi ada beberapa seperti karena ikatan darah, sudah menikah, dsb. Kemudian menjadi pertanyaan apakah boleh menikahi wanita yang sedang hamil? Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 dan pada rubrik fatwa agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 1 tahun 2006 terdapat jawaban dari pertanyaan serupa, namun berikut ini akan kami jelaskan kembali secara singkat.
Pada ayat 24 surat an-Nisa’, – setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu ayat 22, 23, dan 24, – Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dibolehkan seorang laki-laki mengawini perempuan-perempuan lain selain yang telah disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
… وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ … (النسآء:: 24).
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” (QS. an-Nisa’: 24).
Pada ayat-ayat yang lain disebutkan perempuan-perempuan lain selain yang tersebut pada ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu perempuan musyrik (QS. al-Baqarah: 221), perempuan dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haid (Q.S. al-Baqarah: 228), perempuan yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya, ia haram dikawini bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya (Q.S. al-Baqarah: 230), perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia (Q.S. al-Baqarah: 235), perempuan yang tidak mempunyai masa haid lagi dan perempuan dalam masa iddah karena hamil (Q.S. ath-Thalaq: 4), mengawini wanita sebagai istri kelima (Q.S. an-Nisa’: 3), dan perempuan musyrik (Q.S. an-Nur: 3) dan larangan seorang laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya atau seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya (Q.S. an-Nisa’: 23).
Ayat-ayat di atas merupakan tambahan (ziyadah) terhadap perempuan-perempuan yang haram dikawini yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat an-Nisa’. Ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut dibolehkan. Pada ayat-ayat tersebut tidak terdapat perempuan hamil yang tidak mempunyai suami. Karena itu boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya dan tidak perlu ada pengulangan akad setelah melahirkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
https://fatwatarjih.or.id/menikah-dalam-kondisi-hamil-perlukah-mengulang-akad/ dengan penyesuaian
Hits: 354