MUHAMMADIYAH.ID, RIAU – Dinamika zaman mau tak mau harus dihadapi. Sebab, modernitas dan globalisasi tidak hanya mempertanyakan relevansi agama, tapi seringkali juga memutus seseorang dengan kearifan budaya asalnya.
Sebagai organisasi dakwah bervisi pencerahan (tajdid), Muhammadiyah menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dianggap penting merespon hal ini dengan cara-cara kreatif, menggembirakan dan kultural.
Pasalnya, keniscayaan zaman ini jika dihadapi dengan cara reaktif dan tradisional hanya akan menenggelamkan agama maupun kebudayaan itu sendiri, terutama bagi kaum muda.
Apalagi, tantangan seperti ini menurut Haedar diperberat dengan sebagian kelompok yang memandang bahwa Kebudayaan berposisi asimetris atau bermusuhan dengan agama.
“Jangan-jangan, juga makin banyak anak-anak generasi kita yang lost generation, jadi generasi yang hilang dari kulturnya. Maka Muhammadiyah harus menghidupkan itu, karena kultur Indonesia itu sebetulnya kultur religius,” tutur Haedar dalam Silaturahmi Syawal 1442 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Riau, Rabu (2/6).
“Ini penting. Di era perubahan ke depan, secara demografi mendatang, apakah mereka masih akrab dengan nama Muhammadiyah? Jangan-jangan milenial termasuk di Provinsi Riau mulai asing dengan Muhammadiyah karena Muhammadiyah tidak hadir di tengah mereka. Ini penting buat kita,” pesannya.
Haedar pun mendorong agar pendekatan budaya juga dikuatkan. Apalagi, Muktamar Makassar tahun 2015 juga telah mengeluarkan pedoman soal dakwah khusus berbasis komunitas.
“Oke di dalam kita harus solid, ideologi kita kokoh, idealitas kuat, tapi keluar juga harus makin inklusif. Dulu Kiai Dahlan pergaulannya juga luas. Manfaatkan sekarang potensi kita untuk memperluas area dakwah kita, termasuk gerak jamaah kita agar Muhammadiyah itu tetap memperoleh tempat di masyarakat. Apapun golongannya, pilihan politiknya, orientasi, suku bangsa dan macam-macamnya itu,” tegas Haedar.