MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa Idul Fitri merupakan simbol transformasi setelah dididik di sekolah Ramadan selama sebulan penuh. Pasalnya, selama sebulan penuh kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mendirikan malam dengan salat tarawih dan witir, membasahi lisan dengan membaca al-Quran, dan menunjukkan kepedulian dengan menunaikan zakat, infak dan sedekah.
“Momen Idul Fitri kita jadikan momen refleksi diri yang semoga melahirkan transformasi ruhaniah terdalam dan memancarkan fungsi bagi kehidupan kita. Karena setiap tahun berpuasa, tapi apakah seluruh rangkaian ibadah itu telah melahirkan perubahan yang fundamental dan signifikan?” tantang Haedar pada acara Pengajian Syawalan di Universitas Ahmad Dahlan pada Kamis (20/05).
Haedar menyayangkan apabila prosesi ibadah hanya sebatas menggugurkan kewajiban tanpa memiliki dampak spiritual batiniah setelahnya. Ibadah, sebagaimana puasa di bulan Ramadan, hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan tanpa adanya kesan, peningkatan, pencerahan, dan perubahan dalam jiwa setiap muslim.
“Kalau kita hitung pada setiap tahun, kita kalikan berapa kali kita berpuasa, tetapi apakah akumulasi ritual rukun (ibadah puasa) itu telah membawa juga perubahan dalam deret ukur kualitas keruhanian kita untuk menjadi lebih baik dan lebih bertakwa?” tanya Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Haedar menjelaskan bahwa kata “tattaqun” dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 cenderung dipahami sebagai hadiah yang akan didapatkan oleh orang yang telah berpuasa. Seringkali “takwa” dijelaskan sebagai pangkat, gelar, dan identitas yang melekat pada diri orang yang berpuasa. Padahal ungkapan “tattaqun” adalah proses berkelanjutan dari perilaku takwa.
Penjelasan Haedar ini bersumber pada penjelasan “tattaqun” sebagai fiil mudlari yang terikat konteks aktual sebuah pekerjaan. Dengan demikian, “tattaqun” bukanlah pangkat, gelar, atau identitas, yang mungkin lebih dekat kepada kata “muttaqun”. Sementara “tattaqun” mensyaratkan aktualitas riil dari sebuah perbuatan takwa.
“Fiil mudlari itu selalu berkaitan dengan proses waktu hari ini dan yang akan datang untuk proses yang berkelanjutan. Karena itu fiil mudlari maka becoming atau sesuatu yang terus menjadi tidak sekali jadi. Proses ini menjadikan kita untuk semakin bertakwa yang berkelanjutan,” tutur Haedar.