MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Di sebagian kalangan umat Islam, tensi atas pidato kontroversial Perdana Menteri Perancis Emmanuel Macron dan karikatur Charlie Hebdo tentang sosok Nabi mulia Muhammad pada akhir Oktober lalu masih belum sepenuhnya reda.
Pidato Macron terkait Charlie Hebdo dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap umat Islam sehingga memunculkan berbagai reaksi mulai dari demonstrasi hingga gerakan boikot.
Di Perancis sendiri, seorang guru sekolah dipenggal kelompok ekstrimis dan tiga orang lainnya yang sedang beribadah di dalam gereja menyusul menjadi korban setelah ditusuk dan dipenggal.
Menanggapi gejolak tersebut, Duta Besar Perancis untuk Republik Indonesia Olivier Chambard berkunjung ke Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jumat (20/11).
Diterima langsung oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Olivier mengawali pertemuan itu dengan menyampaikan ucapan selamat atas Milad Muhammadiyah ke-108 tahun.
Olivier menyatakan ada banyak kesalahpahaman yang muncul di tengah umat Islam. Dirinya datang untuk menyampaikan fakta, konteks pidato Macron, dan posisi Perancis terhadap Islam.
Muhammadiyah menurutnya adalah organisasi Islam yang representatif dalam moderasi Islam sehingga dirinya percaya Muhammadiyah mampu mengurai kesalahpahaman yang telah terjadi.
“Perancis memiliki komitmen melawan terorisme, bukan melawan Islam dan umat Islam. Ada 5-6 juta muslim yang hidup di Perancis, terbesar di seluruh Uni Eropa dan mereka dapat mempraktekkan keimanannya seperti beribadah hingga memakai hijab dengan kebebasan yang dijamin penuh. Kami menghormati Islam,” tuturnya.
Dilema Laicite
Kendati menyangkal tuduhan bahwa Perancis secara tidak sengaja melakukan penistaan terhadap Islam, Olivier meminta semua pihak untuk memahami aspek hukum yang berlaku di .negerinya
Melalui sistem bernama ‘Laicite’ (sekularisme), kebebasan beragama dan kemerdekaan berekspresi dikawal secara tegas oleh hukum Perancis terhadap semua warga negara tanpa ada diskriminasi, meskipun kemerdekaan itu bersifat ofensif atau menyinggung banyak pihak.
Menurut Oliver, hampir semua agama, pemuka agama dan politisi terkemuka telah mendapatkan kritik yang tajam dari Charlie Hebdo.
Meski demikian, pemerintahnya menolak untuk mempersekusi Charlie Hebdo sebagai komitmen negara terhadap Laicite yang menjadi jatidiri Perancis.
Laicite muncul akibat revolusi setelah selama ratusan tahun masyarakat sipil dipersekusi oleh kelompok agamawan (gereja) di dalam pemerintahan.
Trauma atas masa kegelapan tersebut membuat Perancis memisahkan antara hukum positif yang mengatur kepentingan umum dan hukum agama yang boleh berlaku hanya di wilayah personal (private).
“Laicite adalah sebuah warisan dari hasil perjalanan sejarah yang panjang. Laicite tidak menentang agama. Ia mempertegas sikap negara untuk netral dari pengaruh hukum non-positif,” jelas Olivier.
“Karena Perancis tidak melarang Charlie Hebdo, itu bukan berarti Pemerintah Perancis mendukung kontennya. Pemerintah hanya melindungi kebebasan yang selama ini menjadi nilai-nilai Perancis,” imbuhnya.
Menanggapi keluhan Olivier, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengaku memahami sudut pandang Perancis, tetapi dirinya meminta agar Laicite dihidupkan dengan menjaga kehormatan nilai-nilai yang dipandang suci oleh kelompok agama manapun.