MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Menurut Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, tugas berat berjuang menyemai pandangan Islam wasathiyah hadir bukan hanya dari arus domestic tapi juga arus di dunia global.
Dalam Pengajian Ramadan PP Nasyiatul Aisyiyah yang diselengarakan pada (7/5), Fathur juga menginggatkan supaya Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan (al kharokah at tanwiriyah) menjadi memori kolektif warga Muhammadiyah.
Menjelaskan tentang makna pencerahan, Fathurrahman menjelaskan bahwa, pencerahan itu meliputi tahrirul ibad atau pembebasan (liberasi) manusia dari penghambaan, belenggu, dari ketergantungan kepada sesama manusia (min ibaadatil ibaad ilaa ibaadati rabbil ibad).
“Ini liberasi yang paling otentik, tidak boleh ada manusia yang dipertuhankan, tidak boleh dikultuskan, dan yang tidak boleh diletakkan melebihi batas kemanusiaannya. Apalagi menyamakannya dengan Tuhan,” ucapnya
Makna pencerahan yang kedua adalah dalam konteks pemberdayaan. Selanjutnya yang ketiga adalah memberikan solusi alternatif bagi peradaban. Menurut Fathurrahman Kamal, yang ketiga ini menjadi pekerajaan yang paling berat karena kuatnya terpaan arus domestik dan global.
Saat ini menurut Fathur terdapat dua tantangan terberat yang dihadapai oleh Muhammadiyah, yaitu mengarusutamakan moderasi beragama dan keberagamaan, dan menghadirkan solusi alternatif bagi persoalan kemanusiaan universal.
Merujuk ke Mukatamar Muhammadiyah tahun 2015 di Makassar, tentang pandangan Muhammadiyah dalam melihat fenomena ekstrimisme keagamaan. Fathurrahman menjelaskan, fenomena pandangan perbedaan keagamaan yang seharusnya masuk ke ranah variatif, oleh media sosial kemudian masuk lebih tajam dan saling menyesatkan.
“Muhammadiyah secara konsisten memberikan suatu pernyataan bahwa manusia modern saat ini mengalami suatu suasana despiritualisasi, mereka kehilangan kanopi spiritual. Tampaknya ada suatu masa di mana seorang muslim merindukan suasana spiritual yang tepat bagi dirinya,” terang Fathurrahman
“Kecenderuang untuk kembali menemukan kanopi spiritual, payung rohaniah itu kadang menjelma menjadi pragmatis, fragmentatif dalam beragama, tetapi juga ada yang serba rigid, seolah-olah tidak ada ruang di mana kita melakukan negosiasi dan tukar pikiran,” sambungnya
Menurutnya, munculnya sikap ekstrim (ghuluw) merupakan manifestasi lain dari keringnya ruhani. Suasana kedamaian ruhani yang diinginkan oleh manusia modern tidak didapatkan dari ustadz atau ulama otoritatif, melainkan didapatkan dari siber. Ia menegaskan, bahwa saat ini siber profetik dan siber religion sudah menjadi fakta.