MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA― Batik yang mulanya hanya sebagai karya seni dan hanya boleh dikenakan oleh golongan bangsawan, oleh masyarakat Kampung Kauman diberi sentuhan kreatif pada motif, sehingga batik menjadi milik semua dan boleh dikenakan oleh banyak orang yang dikenal sebagai Kain Batik Sudagaran.
Demikian disampaikan oleh Budi Setiawan, Sesepuh Kampung Kauman, Yogyakarta sekaligus Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah pada, Sabtu (11/9). Di Kampung Kauman, meski dihuni oleh para ulama, namun mereka bukan ulama yang berada di menara gading.
Seperti yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan ketika dirinya datang ke kota-kota lain, selain bertujuan untuk berdakwah dia juga sering membawa kain batik Sudagaran sebagai barang dagangan. Oleh karena itu, Kiai Dahlan selain sebagai seorang ulama juga merupakan pedagang batik.
“Orang-orang Keraton yang juga membatik kan juga pingin jualan juga, kemudian mereka menitipkan batiknya di Kauman. Jadi makanya seperti Kiai Dahlan lebih banyak dia berdagang batik dari pada industri batik,” ungkapnya.
Selain Kiai Dahlan, juga ada Kiai Abu Bakar dengan Kiai Saleh pasangan saudara yang merupakan ayah dan paman Kiai Dahlan juga dikenal sebagai pedagang kain batik. Namun, meski demikian Kiai Abu Bakar dan Kiai Saleh lebih memilih menekuni kesehariannya sebagai ulama dari pada pedagang.
Dalam perkembangannya, dari karya seni menjadi karya industri batik, banyak warga termasuk ulama-ulama di Kampung Kauman membuka industri batik di rumah-rumah mereka yang memiliki ruangan besar, sebab pada waktu itu pemukiman penduduk belum sepadat sekarang.
Budi melanjutkan, terkait dengan corak masyarakat Kauman yang awalnya diisi oleh ulama-ulama kemudian menjadi sangat variatif akibat kedatangan buruh batik yang berasal dari daerah luar Kauman, seperti Bantul dan sekitarnya. Para buruh ini kemudian ada yang menetap di Kauman.
Pasca Perang Dunia II, sekitar tahun 1920-an pedagang batik di Kauman mengalami perubahan, Kiai Dahlan sudah tidak lagi berdagang batik dan lebih fokus pada kegiatan dakwahnya. Termasuk keluarga-keluarga pedagang besar lain juga tidak lagi aktif, berganti para pedagang baru yang meneruskan tradisi batik Kauman.
Di sisi lain batik juga terdampak adanya kemajuan teknologi industri. Batik yang awalnya ditulis, kemudian dicap. Selain itu, menurut Budi, perubahan ini adalah dampak semakin banyaknya permintaan pasar.
“Ada banyak proses batik, mulai mbatik (manual), ngecap yang model cap. Batik itu unik ada proses panjang yang harus dilalui sehingga sampai menjadi siap batik yang diperdagangkan,” tandasnya.
Foto : Travel.Dream