MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Menurut Haedar Nashir, meskipun warga Muhammadiyah sangat well organized yang menjadikan warganya hidup dalam relasi yang impersonal yang memungkinkan relasi sosial tidak hidup. Namun jangan lupa, warga Muhammadiyah juga tetap membutuhkan komunalitas yang erat dan kuat.
Karena itu Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengajak warga Muhammadiyah untuk menghidupkan silaturahmi. Lebih dari itu, juga harus menghidupkan silaturfikr untuk menyamakan persepsi pikiran baik tentang Muhammadiyah, Islam, Kebangsaan, termasuk isu internasional dan global yang terkait dengan kemuhammadiyahan, keislaman, dan keindonesiaan.
Dalam acara Syawalan Bersama Kader Diaspora PCIM Eropa pada Ahad Malam (16/5), Haedar berharap kader diaspora Muhammadiyah memiliki bargaining di kawasan Eropa. Berkaca dari prediksi banyak ilmuan, pada tahun 2035 sampai 2050 umat muslim akan menjadi penduduk terbanyak Eropa. Maka sebagai umat muslim, jangan hanya dihibur oleh angka, tetapi juga peran apa yang bisa dilakukan.
Mengutip Tariq Ramadan, Haedar menyebut, menjadi muslim eropa memang tidak gampang. Karena di satu pihak ingin mempertahankan keislaman, tapi di pihak lain harus lentur terhadap realitas masyarakat dan negara yang sekuler dan atheis. Sehingga proses adaptasi dan negosiasi di sini menjadi niscaya.
“kalau tidak, akan selalu terjadi proses mu`aradhah antara Islam dan Eropa-Barat. Selalu akan terjadi oposisi biner, konfrontasi baik secara kultural lebih-lebih secara agama,“ ucapnya.
Haedar berharap dengan pengalaman kader diaspora Muhammadiyah di Eropa, hal itu bisa didialogkan. Untuk melihat formasi di mana umat muslim bisa masuk. Meski prediksi umat Islam akan menjadi yang terbanyak di Eropa, namun juga tetap diperlukan formulasi keislaman yang kompatibel.
Termasuk adanya Islamophobia juga menjadi tantangan berat bagi muslim yang berada di kawasan Eropa. Karenanya diperlukan format keislaman yang bisa menjawab tantangan tersebut. Menurut Haedar, tantangan yang dihadapi Islam di Eropa merupakan sunatullah, akan tetapi jawaban dan formulasi itu sebagai ruang ikhtiar menjawab tantangan.
Mengutip pernyataan pemikiran Muhammadiyah abad kedua baik dalam konteks Indonesia dan dunia internasional, Haedar menjelaskan bahwa Muhammadiyah melakukan proses tranformasi strategi dari ad dakwah lil mu`aradah ke dakwah lil muwajahah. Yaitu pergeseran dakwah yang serba reaktif-konfrontatif, menjadi pendekatan yang proaktif-konstruktif.
“Paradigma dan strategi baru ini memerlukan reformulasi dari teman-teman yang berada di kawasan yang memang sangat `antagonis` seperti di Eropa tadi. Maka sebenarnya kita juga memiliki rujukan teologis,“ imbuhnya.
Rujukan teologis itu terdapat dalam QS Ibrahim ayat 4, bahwa tidak diutus rasul itu kecuali dengan bahasa kaumnya. Bahasa kaum tersebut dapat diartikan sebagai kondisi kebudayaan, tradisi, dan alam pikir setempat. Yang oleh Muhammadiyah diformulasikan menjadi dakwah kultural.
Hits: 42