MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Mengulas sejarah haji di Indonesia, Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah haji bagi kaum muslim Indonesia atau nusantara waktu itu, tidak bisa berkait erat dengan transaksi dagang internasional yang dilakukan kerajaan di nusantara.
Melacara sejarah haji dari berbagai sumber, Prof. Azra menyebut bahwa perjalanan ibadah haji yang dilakukan oleh kaum muslim Indonesia dimulai pada abad 15 dan semakin massif pada awal abad 16. Pada abad-abad tersebut merupakan puncak intensifikasi Islam di kepulauan Nusantara.
“Ini sudah mencapai titik puncaknya, sehingga kemudian perkembangan Islam semakin massif dan ini kemudian ditunjang dengan mulai berkembangnya kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan terutama sejak awal abad 16. Yang kesultanan-kesultanan ini terlibat dalam perdagangan internasional”. Ucapnya pada (14/7) di acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah.
Di antara kerajaan-kerajaan Islam saat itu yang terlibat dalam pengiriman delegasi ke Mekkah antara lain ada Kerajaan Mataram Islam, Banten, termasuk juga kerajaan di Aceh. Bahkan delegasi dari Aceh hanya ke Mekkah, tapi juga dikirimkan sampai ke Istanbul, Turki.
“Selain mereka melakukan Ibadah Haji, sekalian juga mereka mendapat pengakuan dari penguasa Usmani,” ucapnya. Delegasi yang dikirim, yang berusia di bawah 20 tahun mereka juga memiliki misi khusus untuk menuntut ilmu di Mekkah.
Kelompok delegasi ini, kata Prof. Azra, mendapat gelar Ashabul Jawi atau kelompok awal jawa di Mekkah dan Madinah pada abad 16-17. Kelompok yang disebut Jawi di sana semakin meningkat pada abad 18. Ulama-ulama besar yang berasal dari kalangan Jawi abad 16-17 di antaranya adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili, Syekh Nuruddin Al Raniri, Yusuf Al Makassari, dan lainnya.
Sementara ulama besar Jawi abad 18 diantaranya ada Abdussamad Al Palimbani, Muhammad Arsyad Al Banjari, Nawawi Al Bantani, Mahfudz Tarmasi, Saleh Darat As Samarani, kemudian disusul Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi di akhir abad 19 yang merupakan guru KH Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari.
“Itu terus berlanjut guru, murid-murid ini yang pergi haji dan menetap di Mekkah itu sampai pada tahun 90’. Di mana guru besar yang paling akhir itu adalah Syekh Muhammad yasin bin Isa Al Fadani, karena memang keturunan dari Padang”. Ucapnya.
Prof. Azyumardi menemukan bahwa kemerosotan ulama-ulama Jawi di Mekkah terjadi pada tahun 1990-an. Ditandai oleh salah satunya dengan dinasionalisasikannya Madrasah Darul Ulum di Mekkah yang dikepalai oleh Syekh Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani. Sekolah yang awalnya dimiliki secara swasta diubah menjadi milik Pemerintah Arab Saudi.