MUHAMMADIYAH, YOGYAKARTA — Narasi besar dan konsepsi spiritualitas yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis telah menjadi landasan etis kaum Muslim untuk membangun semangat filantropisme. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menginspirasi kaum Muslimin untuk memformulasikan tindakan kebajikan dalam bentuk aktivisme yang bersifat filantropik.
Dalam Rapat Senat Terbuka dan Orasi Ilmiah pengukuhan guru besar, Hilman Latief mendefinisikan filantropi ini mencakup aspek kedermawanan, gotong royong, saling membantu, kebajikan dan kepedulian sosial, solidaritas ekonomi dan lain-lain.
Misalnya: membantu sesama, membebaskan kaum miskin, menyelamatkan anak-anak yatim yang lemah, menjaga kelestarian lingkungan dari kerusakan, membagikan kelebihan harta kepada orang-orang yang membutuhkan adalah beberapa topik yang menjadi bagian dari narasi-narasi al-Qur’an yang bernuansa filantropistik.
“Banyak perintah dalam al-Qur’an agar kaum beriman dapat memanfaatkan potensi alam yang dimiliki dan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, tetapi juga diingatkan keutamaan untuk menghindari kecenderungan eksploitatif dan koruptif, yang berdampak pada kerusakan ekosistem,” tutur Hilman pada Sabtu (30/01).
Ketua Lazismu Pusat ini juga menyampaikan bahwa dalam berbagai hadis maupun pandangan para ulama juga terdapat penekanan tentang arti penting peran aktif kaum beriman dengan semangat spiritualitas dalam melakukan perubahan. Perubahan tersebut menjadi pendorong agar seseorang masuk dalam kategori al-adl, al-ma’ruf dan al-khayr dan menghindari al-fasad, al-bathil dan al-munkar.
“Fikih zakat kaum Muslim di berbagai negara, dan khususnya di Indonesia, bisa berbeda-beda. Tetapi semangat etisnya yang berada di balik praktik filantropi mereka berada dalam semangat yang sama. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menunaikan zakat dan sedekah mereka tanpa terlalu pusing dengan rumusan fikih yang detail dan rijid, termasuk dalam hitungan-hitungannya,” terang Ketua Lazismu Pusat Muhammadiyah ini.