Oleh: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Pagi begitu cerah! Cahaya sang surya menerangi semesta, menghangatkan jiwa. Kupu-kupu terbang lincah di antara dedaunan hijau, memancarkan asa ke angkasa raya. Kicauan burung saling bersautan di pepohonan rindang, bagai orkestra menebar gita.
Langit membiru indah, menyentuh hati cerah. Gemercik air sungai mengalirkan jiwa bening. Hidup meluruh lembut dari kegarangan. Alam seakan mengirim pesan Tuhan atas segala anugerah yang tak berbilang. Sepadan hingga 31 kali firman-Nya diulang dalam Surat Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?”.
Tapi ironi. Aura damai yang dipancarkan alam terasa berbanding terbalik dengan gelora hidup yang terhegemoni rezim media sosial. Menu harian tersaji hoaks, prasangka, ghibah, kebencian, amarah, nista, nyinyir, kenaifan, dan segala wujud permusuhan. Semua menjejali otak kanan dan kiri sejak bangun hingga tidur kembali. Orang dibangkitkan naluri primitifnya untuk homo homini lopus dalam buaian simulacra ala pemikiran posmo Jean Bauidrillard.
Kehidupan nyata tak kalah garang. Ibarat perang di Kuru Setra. Siapa kuat bergelora melipatgandakan digdaya dengan hasrat sekehendaknya. Setiap ambisi tak kenal henti memanjakan diri demi legasi, tanpa peduli dampak buruk pandemi. Sosok-sosok true-believers menguasai jagad wacana, menebar bara sengketa dengan perkasa bak polisi kebenaran penguasa jalan raya.
Pada titik segala paradoks yang setiap hari menjejali pikiran setiap insan, sejatinya pancaran alam damai yang dihamparkan Tuhan dapat menjadi kanopi teduh akal budi dari segala angkara. Maka ada saatnya jeda. Mengambil jarak. Merebut waktu berefleksi diri. Lalu, bertanya ke jantung hati terdalam (Lub), “Faina tadzhabun” (QS At-Takwir: 26). Kita hendak ke mana?
Hidup Positif
Ujung hidup tergantung awal. Hidup keseharian dapat dimulai dengan jiwa positif nan autentik. Bagi insan muslim mengawali hari dengan sublimasi diri. Diawali shalat subuh nan khusyuk, sebagian bertahajud dini hari tanpa publikasi. Sesudahnya tadarus dan membaca, membuka horizon nan luas sarat makna. Meski aktivitas lebih banyak di rumah karena pandemi, tak mengurangi nilai taqarrub kepada Ilahi Rabbi dan tafakur diri.
Ibadah mengajarkan taslim, kepasrahan tulus berbuah kesalihan diri. Menundukkan diri di hadapan Ilahi, bahwa dirinya dhaif dan Tuhanlah Maha Perkasa. Rahman-Rahim-Nya sumber energi segala kebaikan yang melampau segala hal di semesta raya ini. Itulah momentum waktu angkatan pertama (the first time) yang positif dalam hidup insan beriman. Setelah itu, bersebaran di muka bumi meraih rizki dan berkah Allah, seraya menebar kebajikan hidup tanpa merasa diri paling bersih. Hidup menjadi indah dan tuma’ninah.
Periksalah, awal memulai hari itu hati dan pikiran diberi konsumsi apa? Jika mengawali hidup dengan segala hal positif, maka energi yang bersemi dalam diri dan yang dihasilkan pun konstruktif. Hidup menjadi cerah diri, semestapun tersenyum. Bila masukannya serba negatif, yang terproduksi pun destruktif bagai aliran darah yang mengalir ke sekujur tubuh berbuah amarah ke segala arah. Hatta dalam menghadapi masalah dan musibah, jiwa positif dapat membuka rongga optimis yang membangkitkan ikhtiar dan harapan baik.
Tuhan mengajarkan jiwa al-Insyirah (Kelapangan) dalam memghadapi segala dinamika hidup. Sebagaimana firman-Nya: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? Dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu. Yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan sebutan nama(mu) bagimu. Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS Al-Insyirah: 1-8). Lalu, kenapa memulai hidup dengan segala kesempitan. Semua orang dan keadaan dicandra buruk, negatif, bermasalah, dan tidak ada baiknya dengan segala prasangka dan teori yang sarat narasi gelap!
Teologi al-Insyirah mengajarkan hidup lapang dan optimistik. Agar insan beriman tidak serba sempit dan negatif dalam menghadapi musibah dan masalah. Hidup memang berwarna, ada anugerah ada masalah, suka dan duka, yang niscaya dihadapi dengan jiwa futuwah para kesatria. Para Nabi menghadapi banyak jalan terjal dalam mengemban risalah Tuhan. Kalau Allah menghendaki instan pasti semuanya dimudahkan Tuhan tanpa masalah. Ambi hikmah di balik masalah, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216).
Masalah bisa datang dan pergi dalam hidup pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ada yang dapat diselesaikan, boleh jadi sejumlah hal mangkrak tak berujung-pangkal. Tak perlu diratapi hingga jatuh diri. Apalagi menebar amarah, dendam, dan luapan bara hawa nafsu Setan. Jika jalan hidup diri merasa benar, hadirlah dengan tawadhu untuk berbagi kebaikan dengan hikmah, tanpa perlu serba menghujat dan merasa paling benar. Insan beriman diingatkan Tuhan, “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An–Najm: 32).
Jalani hidup dengan jiwa “abdullah”, selaku hamba Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya. Seraya memposisikan diri sebagai “khalifatul fil-ardl”, menunaikan amanat Tuhan untuk memakmurkan bumi dan tidak berbuat kerusakan. Panggilan hidup insan beriman ialah berbuat kebajikan dalam segala hal yang menebar kemaslahatan, kebaikan, kedamaian, dan kemajuan hidup bersama. Membangun sesuatu yang bermakna lebih sulit ketimbang menegasikan, membongkar, dan menghancurkannya. Pilihlah jalan ishlah (membangun, memajukan) dan jauhi fasad fil-ardl (berbuat kerusakan) dengan jiwa ikhlas, rendah hati, sabar, mujahadah, dan refleksi diri. Itulah jalan hidup positif kaum beriman yang tercerahkan dan mencerahkan menuju bahagia hakiki di dunia dan akhirat!
Jalan Terang
Hidup kaum beriman jangan larut dalam dunia, tetapi tidak anti dan memandang gelap dunia. Hidup fatalis itu terlarang. Namun ketika hidup terlalu larut dalam segala hal yang sarat beban dan ingin menyelesaikan semuanya dengan sikap paling digdaya, hati-hati jatuh ke titik ekstrem. Setiap jalan ekstrem tentu berlebihan dan hilang keseimbangan. Pada garis inilah orang sering kehilangan sikap tengahan (wasathiyah, adil) dalam kehidupan yang kompleks. Bila situasi ekstrem itu terus menerpa tanpa jarak dan jeda, maka lahirlah kegoncangan (kontradiksi), keketerasingan (alienasi), dan hilang arah jalan (disorientasi).
Abu Nawas berkisah sarat hikmah. Seseorang sibuk mencari barang hilang di halaman rumahnya. Ketika ditanya, Anda ingat di manakah barang itu hilang? Dia jawab, “di dalam rumah”. Lalu, “kenapa Anda cari di halaman rumah?”. “Karena di dalam rumah gelap”, tukasnya. Sebuah kisah yang mengandung pelajaran berharga tentang kontradiksi, alienasi, dan disorientasi hidup antara gelap dan terang. Setiap orang takut kegelapan dan mengejar cahaya terang, tetapi tidak tahu cara meraihnya dan kemudian terjebak dalam ketakpahaman akut. Inilah dunia “absurditas” dari hidup manusia yang mengalami krisis kegalauan, seperti ditulis Albert Camus lewat karya terpopulernya “La Peste”.
Absurditas meluas di segala penjuru arah. Para pemimpin tidak tahu apa yang terbaik mesti diperbuat untuk umat dan rakyatnya. Orang berilmu jumawa dengan ilmunya, tapi tak menerangi akal budinya. Orang biasa tenggelam dalam zona aman keawaman. Al-Quran mengilustrasikan ironi perilaku itu sebagai orang-orang yang mempunyai hati tidak memahami, memiliki mata tidak melihat, dan telinga tidak mendengar. “Mereka itu ibarat binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS Al-‘araf: 179).
Pada jebakan absurditas hidup yang disertai kontradiksi, alienasi, dan disorientasi maka perlu menemukan cahaya kehidupan dari Nur Ilahi. Mereka yang ahli ibadah, ahli ilmu, ahli profesi, ahli mengurus segala perkara dunia, dan siapapun yang ingin menjadikan hidup bermakna dan berguna maka perlu membuka jalan musahabah diri untuk menemukan mutiara “fithrah”. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Quran yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum: 30).
Hidup dan beragama yang lurus berbasis fitrah mesti memancarkan cahaya segala kebajikan dalam kehidupan muslim secara pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan lingkar alam semesta. Nabi bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka. Barang siapa mendapat cahaya-Nya pada saat itu, berarti ia telah mendapat petunjuk dan barang siapa tidak mendapatkannya berarti ia telah sesat..” (HR Ahmad dari Ibn Umar). Setiap insan muslim mesti bermujahadah membebaskan diri dan lingkungannya dari segala jerat kegelapan menuju cahaya.
Ibarat sinar matahari, kehadiran orang beriman dan berislam mesti menerangi seluruh insan dan alam sekitar. Setiap pikiran, ujaran, dan tindakannya selalu memancarkan cahaya terang yang mencerahkan. Bak lebah mengeluarkan madu, hinggap di ranting kecil sekalipun tak membuatnya patah. Bukan seperti lalat yang menebar wabah. Hidup jadi teduh dan tidak gaduh. Muslim autentik menempuh jalan lapang kehidupan yang mencerahkan dalam beragama, berpolitik, berekonomi, dan segala aspek lainnya dengan kesadarann ilmu dan hikmah yang beridiri tegak di atas nilai-nilai profetik yang membumi. Inilah jalan terang kehidupan kaum beriman yang disinari Nur “Cahaya Di Atas Cahaya” (QS. An-Nur: 35). Cahaya yang memancarkan pencerahan semesta!
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di halaman Republika pada Sabtu (25/9)