MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pemerintah negara-negara Barat akan memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Rusia. Sanksi internasional kerap dirancang untuk merugikan ekonomi baik suatu negara atau keuangan warga negara secara individu seperti pembekuan aset. Mereka memaksa Presiden Vladimir Putin untuk menghentikan aksi militer di wilayah Ukraina.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengatakan Setiap tindakan yang diambil negara-negara Barat terhadap Rusia juga dapat mempengaruhi ekonomi mereka sendiri. Bila mereka dapat memberikan sanksi, Moscow lantas akan melakukan tindakan balasan. Belum lagi Eropa bergantung pada Rusia karena 40% dari gas alamnya dipasok dari negara bekas Uni Soviet tersebut.
“Apakah negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat mau mengambil risiko? Di mana sanksi ekonomi yang diberikan pada Rusia, pasti akan mendapat respon balik. Seberapa berani negara-negara Barat?” ujar Zain dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada Jumat (12/03).
Jika belum berani memberikan sanksi ekonomi, bisakah Putin dibawa ke Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC)? Sudah banyak pihak terutama negara Barat yang menilai tindakan Putin dan elit politik Rusia ke Ukraina adalah bentuk kejahatan perang. Menargetkan warga sipil, mengarahkan tembakan ke fasilitas umum, dan melanggar konvensi Jenewa adalah serangkaian argumen yang dapat dibawa ke ICC.
Akan tetapi, bagi Zain, sulit membawa para Elit Moskow ke ICC. Rusia telah menandatangani traktat Statuta Roma pada tahun 2002, namun belum meratifikasinya. Namun yurisdiksi kriminal dan personal yang dimiliki ICC hanya dapat diterapkan terhadap warga negara yang negara nasionalnya ikut meratifikasi Statuta Roma 1998. Artinya Rusia tidak berstatus sebagai State Party.
“Sangat problematis, karena Rusia bukan ICC ‘State Party’, sehingga secara legal ICC tidak bisa melakukan persekusi ke elit-elit Rusia,” kata pakar Hubungan Internasional ini.
Jika ICC sangat problematis, bagaimana dengan Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ)? Menurut Zain, ICJ dapat menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai, sehingga Negara-negara yang sedang bersengketa tidak perlu menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Akan tetapi, ICJ tidak seperti ICC yang punya mandat untuk melakukan pengadilan, sehingga yang bisa dilakukan Ukraina adalah mengajukan kasus invasi untuk dibahas di ICJ, misalnya terkait kedaulatan atau kejahatan HAM.
Jika Rusia tidak mau mematuhi, maka masalahnya bisa diserahkan ke Dewan Keamanan PBB. Bagi Zain, membawa persoalan ini ke Dewan Keamanan PBB juga tidak mudah. Meski Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi mengutuk Rusia atas invasi yang dilancarkan ke Ukraina, namun Rusia menggunakan hak vetonya untuk menentang resolusi tersebut. Artinya, membawa persoalan ini ke Dewan Keamanan PBB pun sama problematisnya.
Jika semua perangkat internasional sulit menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina, Zain mengatakan ruang negosiasi yang paling memungkinkan yang dapat diandalkan. Negosiasi di antara aktor kunci seperti Rusia, Ukraina, NATO, dan mungkin negara mediator. Sebagai negara dengan status ‘middle power’, bagi Zain Indonesia memiliki peluang menjadi mediator konflik. Namun kemungkinan itu sangat kecil.