MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Dalam kitab Al Munqidz min al Dhalal, sikap taklid ditentang keras oleh Abu Hamid al-Ghazali. Alasannya, taklid menjadi penanda terhentingnya seseorang dalam mencari kebenaran yang hakiki. Agar terhindar dari belenggu taklid, Al Ghazali menyarankan seseorang mengaktifkan daya ragu dalam diri mereka. Elemen keraguan atau skeptisisme inilah yang kemudian menjadi dasar konstruksi epistemologi Sang Hujjatul Islam.
Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, para pangkaji Al Ghazali baik di Timur maupun Barat berbeda pendapat tentang motif di balik Al Ghazali menolak taklid. Kelompok pertama mengatakan bahwa alasan Al Ghazali menolak taklid karena dipengaruhi tradisi ilmu kalam Asyariyah. Bagi mazhab teologi yang didirikan Abu Hasan al-Asyari ini, sesiapa saja yang meyakini adanya Tuhan hanya berlandaskan taklid tanpa menggunakan nalar, Islamnya kurang sempurna. Artinya, manusia mukmin harus mencari kebenaran Islam dengan proses rasionalisasi atau penalaran.
Kelompok kedua mengatakan bahwa Al Ghazali sebenarnya tidak menolak taklid secara keseluruhan. Ia hanya ingin menunjukkan sisi kelemahan taklid dalam rangka membangun argumentasi bahwa meragukan sesuatu bisa bermanfaat untuk mendorong terjadinya verikasi dan menambah keyakinan. Meski Al Ghazali mengakui bahwa taklid bisa mengantarkan pada kebenaran, tapi taklid adalah metode memperoleh ilmu yang bisa mengandung kesalahan.
Kelompok ketiga menilai bahwa taklid yang ditolak Al Ghazali adalah taklid buta, bukan taklid rasional. Al-Ghazali tidak masalah jika taklid berarti sikap menerima kebenaran berdasarkan pengakuan bahwa sumber atau pembuat postulat mempunyai wewenang penuh. Hal tersebut dapat menumbuhkan tradisi intelektual yang integral. Malah dalam bidang tasawuf yang mengajarkan suluk dan penyujian jiwa, Al Ghazali sangat mendorong agar taklid kepada mursyid.
“Al-Ghazali tidak masalah jika taklid berarti tindakan menerima kebenaran berdasarkan otoritas keilmuan/keulamaan orang lain. Al-Ghazali malah menganjurkan taklid kepada guru yang salih dalam bidang suluk dan tasawuf,” tutur Rofiq dalam kajian kitab Al Munqidz karya Al Ghazali pada Sabtu (10/09).
Kelompok keempat menilai bahwa Al Ghazali mengizinkan golongan awam untuk taklid, tapi tidak untuk orang-orang terpelajar. Bagi Al Ghazali, orang awam sudah cukup dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa perlu penjelasan rasional atau memahami materi ilmu kalam yang mendakik-dakik. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Al Ghazali sendiri menolak taklid, karena ia menganggap dirinya sebagai kaum elit terdidik di masyarakat.
“Al-Ghazali menolak taklid bagi kaum terdidik, tapi mengizinkannya bagi orang awam. Dia menolak taklid untuk dirinya, karena dirinya bukan orang awam,” ucap alumni Arizona State University ini.