Pernikahan dapat dikatakan sebagai janji. Janji dalam bahasa Arab disebut اَلْعَهْدُ . Kata ini sering diartikan pula dengan اَلْعَقْدُ (ikatan). Memang janji itu mengikat terhadap orang yang berjanji dan kadang-kadang mengikat pula terhadap orang yang dijanjikan. Islam mengajarkan agar orang yang berjanji menepati janjinya. Allah swt berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً . (الإسراء (17) :34)
Artinya: “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.” (QS. al-Isra’: 34)
Namun syarat yang harus ditaati ialah syarat yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, misalnya syarat itu tidak mengharamkan yang dihalalkan (dibolehkan) oleh agama atau tidak menghalalkan yang diharamkan oleh agama. Jika syarat itu bertentangan dengan ketentuan Allah, maka syarat itu batal. Rasulullah saw bersabda:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَ إِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ. (رواه الطبرانى عن ابن عباس)
Artinya: “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah swt adalah batal, sekalipun jumlahnya seratus syarat.” (HR. ath-Thabrani dari Ibnu Abbas)
Oleh karenanya dapat diajukan perceraian bagi pernikahan yang tidak memenuhi ketentuan Allah. Diantara sebab-sebab yang dapat menjadi alasan perceraian adalah:
1. Hubungan antara suami dan istri kurang harmonis. Keadaan ini kurang selaras atau belum/tidak mewujudkan yang diajarkan oleh Islam, karena Islam mengajarkan agar dengan perkawinan itu dapat diperoleh kehidupan yang tenteram penuh kasih sayang. Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ. (الروم): 21)
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)
Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf f. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Karena sakit yang diderita istri/suami menghalangi persetubuhan. Kondisi seperti ini tidak mewujudkan yang diajarkan dalam Islam, yakni bahwa perkawinan merupakan cara yang terhormat dan sah untuk penyaluran nafsu seksual. Dalam ajaran Islam perkawinan menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri. Dalam al-Qur’an disebutkan:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ . (البقرة:223)
Artinya: “Istri-istrimu adalah ( seperti ) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. al-Baqarah: 223)
Dalam KHI pasal 116 huruf e. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
3. Dalam perkawinan tersebut tidak diperoleh keturunan, padahal Allah menciptakan manusia dengan disertai naluri berkeinginan memiliki keturunan. Allah berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ … (آل عمران: 14)
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, …” (QS. Ali Imran: 14)
Dari sebab-sebab dalam uraian diatas perceraian boleh diajukan. Akan tetapi hal ini merupakan keputusan yang besar dan harus menjalani proses pemikiran yang matang dan benar. Jika mempertahankan pernikahan adalah hal yang lebih baik dan telah ditemukan solusi dari permasalahan yang menjadi sebabnya maka tidak perlu untuk melakukan perceraian.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 2, 2004 dengan penyesuaian
Hits: 1233