MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Menurut Bank Dunia, kesetaraan akses bagi perempuan dapat dilihat dari dunia pendidikan. Tiga poin utamanya adalah akses untuk memperoleh pendidikan, akses kesetaraan selama proses pendidikan, dan akses pasca pendidikan.
Untuk kasus Indonesia, Anggota Komisi X DPR RI, Prof. Zainuddin Maliki menyebut kesetaraan ini sudah memadai. Akan tetapi, problem sebenarnya baru terlihat dalam bidang yang spesifik misalkan kesetaraan pada bidang ekonomi dan politik.
Di parlemen misalnya, keterwakilan perempuan sudah mencapai per Januari 2021 hanya terdapat 123 orang saja atau sekitar 21,39% yang artinya di bawah target kuota 30% sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemilu. Tak heran, kebijakan yang membawa pada aspirasi perempuan masih sulit mengemuka. Di luar bidang politik, perempuan hanya unggul dalam bidang informal seperti UMKM dan jasa. Selebihnya, kesetaraan akses itu tidak terjadi.
“Kalau kita bicara kesetaraan di Indonesia, itu afirmasi untuk perempuan sudah ada. Artinya peluang di semua sektor kehidupan itu terbuka tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga untuk perempuan. Tapi di Indonesia, nampaknya spirit sosial Darwinisme,” kritiknya.
Dalam International Conference On Women Peace and Harmony 2022 Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA), Selasa (30/8), Zainuddin menilai paradigma Darwinian “siapa yang kuat, dia yang menang” masih cukup mengakar.
Sementara itu, akses kesetaraan dan keadilan belum sepenuhnya terwujud sehingga tak heran, representasi perempuan seringkali terbengkalai. Suara perempuan masih sering terpinggirkan. Secara prinsip, ketidakadilan akses ini bisa disebut sebagai sebuah ‘kekerasan’, di mana kekerasan itu terjadi ketika adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara satu elemen terhadap elemen lainnya.
“Sedangkan kita ingin bicara jaminan akses, memberikan perlindungan perempuan dari kekerasan, maka kita melihat dalam hal ini akar dari kekerasan itu tidak lain adalah relasi yang tidak setara atau ketimpangan relasi kuasa,” jelasnya.
Keadaan ini kata dia diperparah dengan prioritas pemerintah yang terlampau timpang kepada hal-hal yang bersifat instrumental dibandingkan pada hal-hal yang bersifat nilai. Di dunia pendidikan misalnya, berbagai produk kebijakan dalam lima tahun terakhir menampilkan hal tersebut.
Zainuddin menyoroti adanya bias standar kesuksesan, sampai pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan atau BSNP seiring keluarnya Permendikbudristek Nomor 28/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja.
“Dunia pendidikan kita didominasi rasionalitas tujuan, bukan nilai. Yang bersifat tata nilai dikesampingkan. Inilah yang membuat kekerasan di dunia pendidikan kita. Kekerasan tidak terjadi di medan perang tapi juga dimulai di dunia pendidikan kita,” kritiknya.
Melihat hal ini, Zainuddin Maliki berharap kerja-kerja dan program Nasyiatul Aisyiyah ke depan dapat turut menyediakan solusi alternatif bagi fenomena ini. Terutama kepada kaum perempuan. “Karena itu kita ingin ke depan bisa melindungi perempuan dari kekerasan ini, maka akar masalah ini harus dipikirkan. Harus ada pendidikan yang mengarustumakan afeksi, literasi-literasi nilai, supaya kita bisa memerdekakan sekaligus memanusiakan manusia,” tutupnya. (afn)
Hits: 6