MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 esok bakal membahas sejumlah permasalahan menyangkut perbaikan masalah-masalah di tingkat keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta.
Untuk isu keumatan, Persyarikatan Muhammadiyah akan mengangkat enam bahasan. Demikian terang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni dalam acara Gerakan Subuh Mengaji, Ahad (9/10).
Isu keumatan pertama adalah regimentasi agama atau standarisasi pemahaman agama oleh pemerintah, termasuk soal tata cara ubudiyah berdasarkan mazhab tertentu.
“Ada usaha-usaha atau gejala di masyarakat kita soal pengaturan persoalan-persoalan paham agama. Jadi keragaman faham agama di dalam Islam maupun di dalam agama lain itu tentu merupakan wilayah privat masing-masing orang yang di sana ada kebebasan,” kata Syafiq.
“Nah inilah yang menjadi gejala yang saya kira itu harus dikritisi dan menurut Muhammadiyah tidak bisa ada regimentasi pada persolan-persoalan ubudiyah semacam itu,” imbuhnya.
Isu keumatan kedua yang bakal dibawa adalah kesalehan digital. Di masa post truth seperti ini, umat muslim banyak didapati gampang menyebar informasi viral tanpa cek dan ricek (tabayun) yang pada akhirnya hanya akan membawa fitnah.
“Bahkan berita yang tidak jelas itu diyakini sebagai kebenaran karena dibagikan oleh banyak orang dan tidak ada usaha untuk klarifikasi, tabayun. Ini menjadi konsen Muhammadiyah,” ujar Syafiq.
Isu keumatan ketiga adalah terkait persaudaraan antara sesama muslim atau ukhuwah Islamiyah. Persatuan umat selama ini dianggap susah terjadi karena masih ada ego bahwa kelompoknya paling benar ditambah dengan adanya perbedaan kepentingan.
“Oleh karena itu ukhuwah Islamiyah dipandang sangat penting bagi Persyarikatan Muhammadiyah dan semua elemen umat harus bertanggung jawab untuk menciptakan ini,” terangnya.
Isu keumatan keempat adalah soal penguatan tata kelola akuntabilitas filantropi Islam. Bagi Muhammadiyah, hal ini sudah ajeg karena spirit Al-Ma’un. Tapi bagi umat secara umum filantropi Islam tidak berjalan maksimal karena lembaga yang dipilih tidak transparan dan akuntabel, terlebih lagi masih ada tradisi menyerahkan harta kepada figur-figur yang dihormati.
Isu keumatan kelima kata Syafiq adalah soal bagaimana beragama yang mencerahkan.
“Seringkali di masyarakat, dakwah agama kita, atau sebagian dakwah dan keagamaan kita belum mencerahkan. Masih ada tindak kekerasan atau kesewenangan, ada upaya membubarkan pengajian dengan cara-cara kekekrasan. Kalau itu persolaan berbeda pendapat, itu wajar dan harus dihargai dan membuat kita lebih dewasa, tapi yang tidak dewasa itu adalah mencegah pengajian-pengajian dakwah Islamiyah ini dengan kekerasan fisik dan sewenang-wenang dan itu menunjukkan rendahnya keberagamaan kita, keberagamaan yang belum mencerahkan,” jelasnya.
Isu keumatan keenam, adalah soal otentisitas wasathiyah Islam atau moderasi sesuai kandungan Al-Baqarah ayat ke-143.
“Jadi Islam itu sendiri adalah agama wasatiyah dan karena itu salah satu ciri dari berkemajuan adalah mengembangkan wasatiyah ini. Wasatiyah yang berarti bukan ekstrim kanan, ghuluw atau ekstrim kiri yaitu beragama yang serba boleh. Wasatiyah itu juga keseimbangan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, lahir dan batin. Tapi ada gejala penyimpangan dari prinsip-prinsip itu dengan slogan-slogan moderasi. Jadi menegakkan moderasi dengan cara yang tidak moderat. Itu juga kita pandang sebagai penyimpangan terhadap wasatiyah. Termasuk usaha, klaim bahwa dirinyalah yang wasatiyah saja sedangkan yang lain tidak sehingga menimbulkan ketegangan umat yang lain. Jadi seringkali wasatiyah atau moderasi ini dimanfaatkan secara tidak otentik, digunakan untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang tidak sepaham. Nah gejala ini merupakan concern dari Persyarikatan Muhammadiyah,” pungkas Syafiq. (afn)