MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Merujuk berbagai sumber baik itu Kitab Tafsir dan penjelasan ulama-ulama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebut kata wasatha memiliki lima pengertian, salah satunya adalah ummatun adilun.
Ummatun adilun atau umat yang adil, kata Mu’ti, memiliki dua pengertian. Pertama adalah umat yang senantiasa bersikap adil atau objektif dalam berbagai hal. Karena menegakkan peraturan sebagaimana mestinya, sehingga pengertian pertamanya adalah adilun fi hukmi ataupenegakan hukum.
“Sehingga ketika seseorang menegakkan hukum itu dia tidak diskriminatif, tidak menegakkan hukum itu dengan melihat siapa yang menjadi subjek atau objek hukum.” Kata Mu’ti, Selasa (11/4) di Jakarta.
Menurut Abdul Mu’ti, manusia sangat mungkin terjebak subyektifitas ketika menetapkan suatu hukum karena atas dasar suka atau tidak suka. Sebab itu adalah manusiawi. Bahkan rasulullah juga pernah mengalami atau berada pada posisi itu.
Secara ringkas Mu’ti menerangkan, suatu ketika Rasulullah mengambil keputusan yang sangat subyektif, ketika ada masalah antara seorang Sahabat dengan orang yahudi.
Karena orang Yahudi ini sering menjadi biang kerok dari setiap masalah di Madinah, maka begitu ada masalah antara orang Yahudi dengan Sahabat, Rasulullah memberikan putusan hukum secara subyektif dengan menyatakan yang salah adalah orang Yahudi.
“Tetapi kemudian dalam kasus itu, ternyata yang benar itu orang Yahudi, sahabat itu yang salah. Sehingga kemudian Allah mengingatkan Nabi Muhammad dengan firman-Nya dalam surat Al Maidah ayat 8,” ungkap Mu’ti.
“Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum itu membuat kamu berlaku tidak adil, dan berlaku adillah kamu karena sesungguhnya berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa.”
Maka penerapan pandangan tengahan (wasatha) dalam perkara hukum memiliki ciri objektif. Keputusan yang dibuat melihat aturan, bukan melihat subyek atau obyek hukum. Sebab semua memiliki kedudukan sama di mata hukum.
Umat yang Berilmu
Pengertian kedua terkait umat yang adil adalah sebagai umat yang berilmu. Menurut Guru Besar Pendidikan Islam ini, seseorang bersikap adil, objektif dan ilmiah ini disebabkan karena ilmu yang dimilikinya. “Sehingga secara teoritik sebenarnya seseorang itu semakin luas ilmunya semakin luas wawasannya, maka dia menjadi orang yang obyektif.” Katanya.
Dengan keluarasan ilmu, seseorang akan memiliki banyak sudut pandangan dalam mengambil keputusan. Keputusan akan diambil secara hati-hati dan seksama. Umat yang adil juga menjadi kunci kemajuan.
“Karena orang yang berilmu itu berani menegakkan objektivitas ilmiah dan prinsip-prinsip ilmiah. Di sinilah perbedaan antara orang yang alim, dengan orang yang adil. Orang yang berilmu itu akan senantiasa mengambil keputusan dengan ilmunya, dan orang yang jahil itu akan mengambil keputusan dengan nafsunya.” Kata Mu’ti.
Hits: 941