MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Resah dengan gejala ekslusif dan individualisme masyarakat Indonesia, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti berharap fungsi sarana sosial seperti Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) kembali dipertegas.
“Forum-forum kekeluargaan seperti ini perlu kita hidupkan kembali. Yang sekarang ini terjadi kan RT itu tampil lebih sebagai lembaga admisnistrasi negara di tingkat bawah, bukan sebagai lembaga kewargaan. Orang datang ke RT kalau perlu surat gitu kan misalnya atau kalau perlu keperluan yang sifatnya admisnistratif,” kritik Mu’ti.
Dalam forum diskusi daring Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, Senin (16/8) Abdul Mu’ti mengajukan kritik ini karena menilai gejala ekslusif dan individualisme itu rentan bermasalah bagi masyarakat Indonesia yang beragam suku bangsa.
Karena itu, peran RT dan RW sebagai pranata terkecil diharapkan dominan pada fungsi asalnya, bukan malah menjadi lembaga administrasi.
“Sebenarnya fungsi sejati dari RT adalah forum kewargaan di mana kita sebagai bangsa, apapun agamanya, apapun sukunya itu melebur menjadi satu sebagai sebuah komunitas di mana kita yang berbeda-beda itu tetap bisa bersama-sama karena kita adalah bagian dari komunitas kecil di mana kita berada,” jelasnya.
“Nah forum-forum kewargaan seperti ini, tempat di mana terjadi meeting point bertemu satu dengan lainnya di waktu tertentu juga menjadi melting point di mana semuanya mencair untuk kepentingan bersama yang lebih besar itu saya kira perlu dihidupkan kembali,” tambahnya.
Bahaya dari dominasi peran administrasi dibanding peran sosial itu menurut Mu’ti adalah hilangnya jiwa musyawarah di antara masyarakat. Misalnya jika terjadi masalah, maka RT/RW yang dominan berfungsi administrasi akan cenderung mengutamakan pendekatan hukum legal daripada pendekatan kewargaan dari hati ke hati atau musyawarah.
“Nah itu juga bukan cara yang baik menurut saya. Menyelesaikan masalah secara hukum di satu sisi itu tentu baik dalam pengertian dapat menghapuskan kecenderungan orang main hakim sendiri atau di mana kekerasan itu menjadi pilihan, tetapi penyelesaian hukum itu tetap menyisakan persoalan karena keadilan itu adalah keadilan legal yang belum tentu itu bisa menjadi keadilan sosial,” kritiknya.
“Nah hikmat dalam permusyawaratan (Pancasila) sekarang ini seakan-akan hilang karena segala sesuatunya diselesaikan secara legal-yudisial. Apa-apa dibawa ke pengadilan dan kemudian akhirnya kita juga melihat masalah baru lagi. Ketika pengadilan itu belum atau tidak menjadi tempat di mana orang itu mendapatkan keadilan yang sesungguhnya itu,” imbuh Mu’ti.
“Maka sarana-sarana inilah yang perlu kita hidupkan lagi sehingga pranata-pranata sosial yang penuh dengan kearifan lokal itu kita pelihara, kita jaga dengan cara-cara yang bersifat alamiah yang sebagiannya memang diafirmasi melalui kebijakan yang bersifat legal-konstitusional,” pungkas Mu’ti.
Hits: 18