MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Sebagian dampak dari fenomena modernisme dan globalisasi adalah terpinggirkannya aspek spiritualitas dalam kehidupan manusia. Baik spiritualitas yang bersumber dari ajaran agama, atau spiritualitas yang bersumber dari nilai-nilai budaya.
Membawa data pusat riset Pew, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut terpinggirkannya aspek spiritualitas itu tidak terjadi secara alamiah saja, tapi juga terbangun lewat gerakan.
Hal inilah yang dikhawatirkan Mu’ti ikut berdampak pada masa depan pendidikan nasional. Pasalnya, dia menangkap ada berbagai rangkaian kejadian yang mengarahkannya pada kesimpulan itu.
“Karena itu maka kalau sekarang ada upaya-upaya untuk misalnya menjadikan agama dan iman takwa itu sebagai sesuatu yang tidak ada lagi di dalam tujuan pendidikan, mata pelajaran, saya kira itu akan menjadikan manusia kehilangan kemanusiaannya,” demikian kata Mu’ti dalam Seminar Nasional Ikatan Alumni UNY bertajuk “Spiritualisme dalam Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat”, Selasa (7/9).
Abdul Mu’ti merasa khawatir sebab pendidikan itu menurutnya berpusat pada manusia yang hidup bukan sebagai makhluk jasmaniah saja.
“Maka pendidikan itu harus berpusat pada manusia, dan karena manusia itu adalah makhluk jasmani dan rohani, maka pendidikan itu harus memenuhi aspek jasmani dan ruhani dalam diri manusia itu,” terangnya.
Bagi bangsa Indonesia, perhatian terhadap aspek ruhaniah dalam pendidikan nasional menurut Mu’ti adalah bagian dari wujud merawat cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tersirat dalam Pancasila dan tersurat dalam UUD 1945.
“Kalau kita bicara tentang pendidikan sebagai sebuah proses, maka dalam konteks negara, pendidikan itu merupakan political engineering atau sebuah rekayasa politik yang dilakukan oleh negara untuk membentuk masyarakat dari suatu negara yang diinginkan oleh para pemimpin atau penyelenggara negara itu,” terangnya.
Terakhir, Abdul Mu’ti berharap identitas pendidikan nasional Indonesia yang mencakup sisi jasmaniah dan ruhaniyah ke depan terus dikembangkan untuk bisa beradaptasi dan unggul di tengah globalisasi.
“Kalau kita bicara tentang Indonesia, justru kita menjadi Indonesia itu kalau kita memperkuat keberagamaan bukan kemudian mendelusi agama. Inilah yang kemudian saya kira penting sehingga dimensi spiritual dalam dimensi pendidikan niscaya dan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya kita membangun bangsa, karakter dan peradaban bangsa,” tutupnya.