MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Setelah dianggap berhasil mengambil peran dalam mewujudkan integrasi dan perdamaian antara kelompok militer Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dengan pemerintah Filipina pada 2012, Bangsamoro mengaku masih membutuhkan peran Muhammadiyah.
“Muhammadiyah sangat spesial dalam usaha perdamaian. Kami masih membutuhkan Muhammadiyah dalam pengembangan bidang pendidikan,” ujar perwakilan Bangsamoro Mohajirin Ali dalam forum internasional webinar yang diadakan oleh LHKI PP Muhammadiyah, Sabtu (12/12).
Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah terlibat aktif sebagai anggota International Contact Group (ICG) untuk membantu proses perdamaian antara pemerintah Filipina dengan pihak Front Pembebasan Islam Moro (MILF) sebelum tahun 2008 hingga saat ini.
Kini setelah diberikan otonomi khusus oleh pemerintah Filipina, Bangsamoro berusaha melakukan penguatan proses integrasi. Parlemen otonom Bangsamoro menganggarkan mayoritas dana pembangunan untuk sektor pendidikan.
Karena itu, pada Juni 2019 lalu rombongan tokoh agama, tokoh politik, akademisi Bangsamoro datang ke PP Muhammadiyah Jakarta untuk meminta kerjasama penguatan kurikulum Islami yang moderat.
“Bangsamoro melalui perjuangan panjang lebih dari 20 tahun untuk otonomi melalui jalan damai. Melalui jalan normal dan jalan politik,” jelas Mohajirin.
Saat ini, Mohajirin menjelaskan proses normalisasi peralihan integrasi antara pejuang militer MILF masih berjalan meski tersendat oleh pandemi Covid-19.
12.145 kombatan dari 40.000 kombatan MILF telah dinonaktifkan dan 2.500 senjata dari 7.500 senjata telah diserahkan kepada pemerintah.
Penyediaan bantuan moneter dan non-moneter untuk para pejuang MILF yang telah dinonaktifkan yang mencakup uang muka, paket perumahan, program sosial-ekonomi dan mata pencaharian juga masih tersendat karena pandemi. Mohajirin berharap, peran Muhammadiyah tetap hadir untuk mewujudkan terwujudnya perdamaian yang sepenuhnya bagi Bangsamoro.
Tidak hanya di Moro, peran melintasi Muhammadiyah juga hadir di Rakhine State, Myanmar, Palestina, hingga Pattani di Thailand Selatan. Atas peran-peran inilah Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM) sempat mengajukan Muhammadiyah sebagai calon penerima Nobel Perdamaian pada tahun 2019. (afn)