MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Hadis Jibril adalah sebuah hadis yang memuat definisi tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat menurut akidah umat Islam. Hadis ini diriwayatkan Abu Hurairah dari sahabat Umar bin Al-Khaththab.
Menurut mantan Ketua Lazismu Pusat PP Muhammadiyah Hilman Latief, hadis ini adalah pegangan bagi setiap muslim dalam kehidupan dunia. Sebab, di dalamnya memuat sebuah konsep lengkap terkait cara ber-Islam.
Dalam Pengajian Ramadan 1443 H PP Muhammadiyah, Rabu (6/4), Hilman yang kini menjabat sebagai Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama Republik Indonesia itu menerangkan bahwa ketiga aspek dalam Hadis Jibril itu saling terkait dan tidak bisa diamalkan secara terpisah.
Secara akademik, Hilman menyebut penjelasan Islam menyangkut aspek ontologis, Iman menyangkut aspek epistemologis, dan Ihsan menyangkut aspek aksiologis atau etika.
Karena itu, jika tiga aspek ini dipahami oleh seorang muslim, maka kata Hilman akan lahir pribadi muslim yang ideal dan profesional serta bermanfaat bagi sekitarnya.
“Hadis Ihsan bisa kita maknai tentang keikhlasan, tentang dedikasi, tentang totalitas. Karena dengan merasakan sesuatu, orang akan bersikap total dalam mengerjakannya,” jelas Hilman.
Hadis Jibril di atas juga selaras dengan Surat An-Nahl ayat 90 yang artinya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Hilman menekankan pengamalan integratif Hadis Jibril. Sebab jika dari tiga aspek itu hanya satu aspek saja yang diamalkan, maka yang terjadi adalah seperti kisah seorang Badui dalam Surat Al-Hujurat ayat 14 yang artinya,
“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amal perbuatanmu.”
“Kita di Persyarikatan Muhammadiyah terus mengeksplorasi konsep-konsep dasar yang ditawarkan oleh Alquran. Memerlukan perjuangan di dalam merumuskannya. Penting bagi kita untuk memaknai kembali bagaimana spiritualitas ihsan perlu diwujudkan lebih kontekstual dalam Persyarikatan Muhammadiyah,” pungkas Hilman. (afn)