MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kemajuan pesat demokratisasi, teknologi digital dan informasi di Indonesia ibarat pisau bermata dua. Selain menghadirkan dampak positif, tak sedikit dampak negatif yang ikut muncul. Misalnya seperti fenomena pendengung (buzzer).
Dalam forum Webinar bertajuk Fenomena Buzzer dan Akun Bot di Tengah Proses Demokratisasi Indonesia, Kamis (30/9) Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Abdul Rohim Ghazali menilai keberadaan buzzer sangat mengkhawatirkan bagi persatuan masyarakat Indonesia yang beragam.
“Pada sisi lain (teknologi digital) bisa negatif jika dipakai untuk mengecam atau bahkan memfitnah. Nah biasanya kalau kecaman atau fitnah, ini disampaikan melalui akun-akun dengan nama samaran. Akun-akun inilah yang menurut saya sangat berbahaya, karena apa, memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menyampaikan kritik atau bahkan kecaman secara tidak bertanggungjawab,” ungkapnya.
Lebih lanjut, buzzer dianggap berbahaya karena sering beroperasi dengan menyerang aib dan sisi personal seseorang daripada melawan dengan argument yang objektif.
“Fenomena buzzer ini membuat munculnya aktivis pengecut yang menyampaikan sesuatu dengan nama yang bukan sebenarnya. Efeknya panjang. Di situ juga muncul fake news, berita yang ditujukan merusak lawan politik dengan cara yang tidak sehat,” sebut Ghazali.
Fenomena buzzer menurutnya tumbuh subur terutama menyangkut proses politik. Selain sukarela, banyak juga buzzer yang menurut pengamatannya muncul sebagai jasa profesional.
Lewat forum webinar ini, Ghazali berharap berbagai usulan yang dimunculkan dapat menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah sekaligus mengedukasi masyarakat untuk menjaga kualitas kehidupan demokrasi yang sehat.
“Harapan kita pada diskusi ini, akan menjadi masukan nanti kepada Pimpinan Pusat Muhammadiayh dan PP Muhammadiyah bisa melanjutkannya pada pihak-pihak yang berkepentingan,” tutup Ghazali membuka forum webinar.
Selain Dirjen Komunikasi Publik Kemenkominfo RI Usman Kansong, hadir para pemateri lain seperti Ketua LHKP PP Muhammadiyah Agus HS. Reksoprodjo, Jurnalis Harian Kompas Edna C.Pattisina, dan Pengamat Media Sosial/Drone Emprit Ismail Fahmi.