MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Berprasangka buruk adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh agama. Surat Al-Hujurat ayat 12 menyebut berprasangka buruk sebagai perbuatan dosa.
Dalam kehidupan politik, berprasangka buruk seringkali muncul tidak secara natural, tapi karena ada pemicu dari perbuatan atau pernyataan kontroversial aktor politik.
Hal ini menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti adalah bahan bagi aktor politik dan pendukung politik untuk bermuhasabah.
“Kita hendaknya berprasangka baik. Tapi agar orang tidak berprasangka buruk, kita sebaiknya tidak melakukan sesuatu yang orang itu tidak berprasangka buruk,” pesannya dalam Program Catatan Demokrasi TvOne, Selasa (10/8).
“Agama senantiasa mengajari kita untuk menjaga diri dari perbuatan yang bisa merendahkan martabat kita yang sering disebut dengan istilah iffah dan muruah. Sehingga karena itu supaya orang tidak berprasangka buruk kepada kita, ya kita jangan berbuat sesuatu yang memancing orang untuk berprasangka buruk. (termasuk) Kalau orang itu sudah baik ya jangan kita buruk-burukin terus. Kita tunjukkan kebaikan orang itu,” nasehatnya.
Selain dilarang berprasangka buruk dalam kehidupan politik, perbuatan riya’ dan mengungkit-ungkit pemberian menurutnya juga tidak pantas dilakukan.
“Sehingga karena itu maka jangankan kita hanya memilih-milih yang kita beri, menghujat-hujat, mengungkit-ungkit yang kita beri saja kan tidak boleh. Ya kita tidak boleh riya dalam berderma, dan kita tidak boleh menghujat orang yang menerima bantuan dari kita,” kata Mu’ti.
“Saya kira dalam konteks riya tentu saja semua harus kita lakukan dengan tulus, sincerity dan mudah-mudahan semuanya menjadi amal saleh dan oleh karena itu menurut saya memang kesadaran kita untuk membatasi diri agar tidak melampaui apa yang seharusnya kita lakukan, itu menurut saya menjadi bagian dari kesadaran kolektif yang perlu kita bangun bersama-sama dalam kehidupan kebangsaan kita saat ini,” tutupnya.