MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Pada Desember 2020 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis hasil survey bahwa potensi radikalisme di kalangan muda terjadi penurunan. Meskipun begitu, literasi digital dianggap belum bekerja efektif mencegah radikalisme.
Setali tiga uang, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai hal demikian terjadi karena lemahnya militansi bersuara kelompok moderat dibanding kelompok radikal.
“Pertama, mungkin soal militansi dalam tanda petik. Kadang-kadang kelompok-kelompok moderat karena mereka moderat, jadi kurang militan. Sudahlah toleran saja, kata mereka. Nah kalau teman-teman yang cenderung agak ekslusif itu kan militan betul,” ungkap Mu’ti dalam forum diskusi Kanal Convey Indonesia, Jumat (23/7).
Selain militan, kelompok radikal menurut Mu’ti memiliki kemampuan menarasikan pemikiran mereka dalam kemasan yang menarik, singkat dan sederhana untuk dipahami.
Pada beberapa kasus, argumen mereka juga nampak bisa dipertanggungjawabkan dari sisi otentitas dalil meski jika ditelisik lebih jauh seringkali terlepas dari konteks.
“Oleh karena itu menurut saya gerakan-gerakan kelompok modernis dan progresif ini perlu bergerak lagi,” saran Mu’ti. Termasuk memperbanyak ruang menggaungkan suara bagi individu-individu yang memiliki komitmen terhadap moderasi.
Siapa Target Kelompok Radikal?
Menurut Mu’ti, mayoritas kaum muda yang potensial terpapar radikalisme adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang kultur Keislaman yang baik.
“Nah karena itu kelompok-kelompok yang istilahnya dipopulerkan Prof Azyumardi Azra yaitu ‘knowledge attach to Islam’ itu berangkat dari pemikiran yang kosong, tidak ada background NU, Muhammadiyah atau yang lain. Sehingga ketika kemudian dia ingin mencari sesuatu dari Islam itu dan dia menemukan yang seperti itu (radikal) lalu dia attach to (mengidentifikasi diri),” jelasnya.
Faktor lain yang memperbesar peluang itu menurut Mu’ti adalah anggapan bahwa kelompok moderat seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya adalah kelompok sektarian yang primordial (fanatisme/ashobiyah).
“Sehingga sekarang ada kecenderungan untuk tidak Muhammadiyah, tidak NU, tidak Persis, tidak berorganisasi. Pokoknya Islam saja, begitu. Just Islam, hanya Islam,” jelasnya.
Apa Solusinya?
Membaca faktor-faktor di atas, Abdul Mu’ti beranggapan bahwa memperbanyak tokoh moderat yang membawa visi keagamaan secara personal dan tidak berafiliasi dengan lembaga keagamaan tertentu bisa menjadi strategi jitu.
“Nah kalau ini diperbanyak saya kira itu bisa menjadi bagian dari bagaimana kontestasi itu bisa menjadi lebih kaya dan masyarakat diberikan pilihan. Yang penting kan perspektif itu diberikan dalam sudut pandang masing-masing dan tidak menyalahkan yang lain, tidak menyerang yang lain,” katanya.
Tak lupa, individual moderat seperti itu juga perlu menanamkan kepada umatnya terkait kedewasaan menyikapi perbedaan sebagaimana dicontohkan oleh para imam mazhab di dalam khazanah Islam.
“Jadi kita kembali ke atsar para imam mazhab itu. Ketika beliau berpendapat itu ya dia tidak menyalahkan yang lain. Ini pendapat saya, silahkan kalau mau setuju kamu ikut. Kalau tidak dan itu lebih kuat silahkan kamu tidak ikut. Saya kira kultur ini bisa kita bangun dan saya kira individul tadi bisa kita perbanyak,” pungkasnya.