MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Bagi Muhammadiyah, Islam dipandang bukan sebagai agama yang memandu kehidupan manusia terhadap akhirat saja. Tetapi, Islam juga mendorong umatnya untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang utama.
Kemajuan dalam segala dimensi kehidupan baik rohani maupun materi inilah yang kemudian oleh Muhammadiyah diistilahkan dengan istilah Islam Berkemajuan.
Yaitu, Islam yang secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana tersirat dalam Ali Imran ayat 104 & 110 yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah.
“Itulah religious view, pandangan keagamaan. Dan ini resmi, menjadi pandangan resmi Muhammadiyah sejak tahun 2010 dalam Muktamar di Yogyakarta dalam satu bagian dari pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua,” ungkap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Dalam forum Digital Society Discussion Series #5 “Tantangan Islam Berkemajuan di Era Disruptif” Center of Southeast Asian Social Studies Universitas Gajah Mada (UGM), Haedar menjelaskan bahwa pandangan Islam Berkemajuan menjadikan Muhammadiyah wajib menghadirkan dakwah yang adaptif dan transformatif, bukan dakwah yang kaku dan eksklusif.
“Dakwah Islam, upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat sosial lainnya,” tutur Haedar.
Islam Berkemajuan sendiri oleh Haedar dianggap sebagai cara untuk mewujudkan risalah Nabi menghadirkan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh makhluk.
Sebab, selama ini istilah Islam Rahmatan lil ‘Alamin oleh umat Islam hanya dijadikan slogan atau komoditas dakwah tanpa tahu cara bagaimana mewujudkannya.
“Berarti karena dia menjadi risalah, dia menjadi fokus dan lokus dari risalah itu dan tidak akan terlaksana tanpa sebuah sistem, usaha dan perspektif tertentu,” jelasnya.
Pemilihan konsep Islam Berkemajuan sebagai upaya mewujudkan Rahmatan lil ‘Alamin nyatanya bukan sesuatu yang baru. Menurut Haedar, konsep dalam kata ‘kemajuan’ bahkan sering disebut oleh pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan termasuk dalam Statuten Muhammadiyah tahun 1912 yang berbunyi, “memajukan hal ihwal agama Islam kepada anggotanya.”
Prinsip-prinsip Berkemajuan itu juga dilakukan sejak lama oleh Muhammadiyah, salah satunya adalah mempelopori pandangan keagamaan yang meninggikan peran dan posisi perempuan.
“Kami men-declare ini rasanya belum ada, bapak ibu bisa cek dalam sistem berpikir resmi organisasi-organisasi Islam. Kalau pernyataan para tokohnya mungkin iya. Tapi dalam sistem berpikir resmi, kami sudah menggagas ini sudah lama sejak tahun 1968 di Adabul Mar’atul Islam dalam soal perempuan dalam Islam. Bahwa Muhammadiyah memandang perempuan dan laki-laki itu sama mulianya, dihadirkan untuk sama-sama masuk surga. Yang membedakan hanyalah ketakwaan,” urai Haedar.