MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Asep Purnama Bahtiar mengajak warga Muhammadiyah untuk kembali ke asal. Maksudnya, selama ini banyak yang keliru mengasosiasikan persyarikatan sebagai korporasi dengan alasan banyaknya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah. Ada juga yang menganggap bahwa pergerakan Muhammadiyah hanya sebatas fenomena muslim perkotaan semacam patembayan atau paguyuban.
Padahal menurut Asep Purnama Bahtiar, Muhammadiyah tergolong sebagai organisasi nirlaba. Dengan alasan gerakan Muhammadiyah bersifat sukarela, memanfaatkan sumbangan dari iuran anggota maupun para donatur, produknya memiliki manfaat, dan para pimpinan yang berada dalam strukturnya pun tidak dibayar secara reguler. Karena itulah tidak tepat bila Muhammadiyah diposisikan sebagai korporasi.
“Tidak ada satupun pimpinan Muhammadiyah dari pusat hingga ranting yang dibayar dalam posisi jabatan atau struktur kepemimpinannya. Tentu berbeda dengan korporasi atau bisnis perusahaan yang profit-oriented,” ungkap Asep Purnama Bahtiar dalam Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah pada Sabtu (17/04).
Selain itu, Muhammadiyah juga disebut fenomena kota (modern). Namun dalam perkembangannya hingga saat ini, kata Asep, Muhamamdiyah hadir dan memperoleh ruang luas di pedesaan dan masyarakat marjinal. Memang segmen masyarakat kota, kelas memengah ke atas, kaum profesional, birokrat, teknokrat masih mendominasi. Akan tetapi Asep menegaskan bahwa tidak tepat bila saat ini Muhammadiyah dikategorikan sebagai fenomena muslim kota.
“Muhammadiyah tidak sekadar gejala perkotaan. Di pedesaan atau di perkampungan juga ada Muhammadiyah, maka kita melihat secara organisatoris Muhammadiyah adalah patembayan, tetapi dalam lingkup interaksi antar warga Muhammadiyah dengan masyarakat lainnya mencerminkan paguyuban,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Setelah menjelaskan posisi Muhammadiyah, Asep kemudian mengajak untuk mengembalikan ke asalnya sebagai gerakan keagamaan yang berlandaskan al Quran dan al Sunah. Menurutnya, Muhammadiyah didorong oleh paham agama dengan cara menghayatinya, mengamalkannya, memperjuangkannya, dan pada akhirnya terbentuk identitas Muhammadiyah.
“Dari sini kita melihat bahwa bentuk identitas Muhammadiyah adalah agama. Dan ini akan dirumuskan dalam anggaran dasar tentang identitas Muhammadiyah. Selain itu, lahirnya Muhammadiyah dari tiada menjadi ada didorong oleh paham Kyai Dahlan tentang apakah agama Islam itu. Jadi ini identitas asal Muhammadiyah,” terang Asep.
Dengan demikian, dalam memahami Muhammadiyah yang sebenarnya harus memahami Islam yang sebenarnya. Jika tidak berangkat dari pijakan ini, kata Asep, ia hanya akan memandang Muhammadiyah sebagai organisasi dan tidak akan mengenal idealismenya. Asep menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah wujud pengamalan agama Islam.
Hal tersebut dipertegas kembali oleh Asep dengan mengutip Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 tentang Identitas dan Asas disebutkan bahwa 1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah; 2) Muhammadiyah berasas Islam.