MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Minimnya kajian fikih siyasah di kalangan akademisi dan masyarakat menjadi sorotan awal akademisi dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Immawan Wahyudi.
Dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada Ahad (03/08), ia mengisahkan pengalamannya kuliah di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga pada era 1960-an, ketika pembahasan hukum politik Islam masih sangat terbatas.
Padahal, menurutnya, Al-Qur’an telah memuat prinsip-prinsip kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks kebangsaan. “Kita memiliki pedoman mulia, tetapi belum memahami dan mengimplementasikannya secara utuh,” ujarnya.
Immawan mengkritik cara pandang sempit terhadap mazhab yang sering mengabaikan isu-isu global umat Islam, seperti penderitaan rakyat Palestina. Ia menyesalkan narasi yang menyebut Hamas sebagai Syiah hanya karena menerima dukungan dari Iran.
Dalam waktu yang bersamaan, ia juga menyayangkan umat Islam yang terjebak dalam perdebatan internal, sementara pihak sekuler, sosialis, dan komunis justru lebih vokal membela Palestina.
“Kita terlalu sibuk dengan perbedaan mazhab dan ritual kecil, sampai lupa bahwa Gaza sedang berdarah,” tegasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya memahami Islam secara menyeluruh, bukan sekadar ritual. Rutinitas keagamaan yang bersifat simbolik seperti perdebatan posisi jari saat tasyahud, menurutnya, kurang relevan dibandingkan urgensi membangun kesadaran berorganisasi dan berpikir strategis dalam skala umat.
“Berislam tidak cukup hanya dengan bermazhab, tapi juga harus bertindak dan berpikir sebagai umat,” katanya.
Dalam menjelaskan kepemimpinan politik, Immawan merujuk Surah An-Nisa ayat 58–59 yang menekankan pentingnya amanah dan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan ulil amri. Ia menegaskan bahwa Islam tidak memisahkan agama dari politik.
Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara, pembuat konstitusi, sekaligus panglima perang. “Mengatakan Islam tidak mengatur politik adalah merendahkan risalah Nabi,” ujarnya dengan nada tegas.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi hanyalah alat, bukan tujuan. Demokrasi bisa gagal jika hanya dijadikan formalitas tanpa nilai. Menurutnya, yang utama adalah bagaimana pemerintahan mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kecerdasan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Ia menyayangkan praktik demokrasi di Indonesia yang kerap timpang dan koruptif. “Rakyat tidak diajak bicara, korupsi triliunan dianggap biasa. Ini bukan alhamdulillah, tapi innalillahi,” sindirnya.
Salah satu isu kebijakan yang dikritik Immawan adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Ia menilai proses pembentukan UU tersebut cacat secara prosedural dan substansi. Pengesahan dilakukan tergesa-gesa tanpa rapat dengar pendapat yang melibatkan rakyat, bahkan jumlah halamannya pun tidak pasti.
“Undang-undang 1000 halaman disahkan cepat-cepat, tapi rakyat tidak tahu isinya. Ini bentuk kejahatan politik,” tegasnya. Ia juga mengkritik pasal yang membuka peluang penyitaan tanah rakyat yang dinilai terlantar.
Immawan juga menyerukan pentingnya ukhuwah islamiah sebagai pondasi persatuan umat. Menurutnya, persaudaraan seiman harus berkembang menjadi solidaritas yang sepenanggungan dan setujuan.
Ia mengkritik umat Islam yang justru menikmati perpecahan, misalnya antara Muhammadiyah dan NU. “Jangan bangga melihat saudara sesama Muslim melemah. Itu bukan semangat Rasulullah,” ujarnya.
Ia mendorong agar pengajian di masjid bersifat umum, tidak eksklusif bagi organisasi tertentu, agar terbuka untuk semua kalangan.
Lebih lanjut, Immawan menjelaskan empat pilar pemerintahan Islam berdasarkan pandangan Taqiyuddin an-Nabhani: kedaulatan di tangan syariat, kekuasaan milik umat, kewajiban mengangkat khalifah, dan hanya khalifah yang berwenang menetapkan hukum.
Ia menyebut model ini tidak bertentangan dengan demokrasi, justru memperkaya makna kedaulatan rakyat dengan basis keimanan.
Ia juga mengangkat Piagam Madinah sebagai bukti bahwa Islam telah mengenal sistem konstitusional yang adil dan inklusif jauh sebelum teori sosial Barat berkembang.
Dalam konteks penguatan kapasitas umat, Immawan menekankan pentingnya pendidikan politik dan kewarganegaraan. Menurutnya, umat Islam harus dibekali pemahaman yang benar agar dapat memilih pemimpin yang kompeten dan amanah.
Ia mengecam glorifikasi tokoh politik yang dilakukan berlebihan hingga membandingkan mereka dengan sahabat Nabi, hanya karena jabatan. “Memilih pemimpin adalah amanah, bukan sekadar tren atau fanatisme,” tegasnya.
Menutup ceramahnya, Immawan mengajak jamaah untuk memperdalam kajian fikih siyasah dan membangun persatuan umat melalui pemahaman ukhuwah islamiah yang benar.
“Jangan hanya sibuk dengan kelompok sendiri. Umat ini harus bangkit bersama, bukan jalan sendiri-sendiri,” pungkasnya.