MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Muhammadiyah diakui Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai salah satu dari empat Pilar Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal tersebut tentunya tak terlepas dari peran sekaligus sejarah Muhammadiyah di Yogyakarta yang begitu besar di berbagai bidang yang dimulai dari tiga titik wilayah di Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan “Tiga K”: Kauman, Karangkajen, dan Kotagede.
Jejak sejarah dan dinamika dakwah Muhammadiyah sebelum berkembang lebih jauh hingga menjangkau pelosok nusantara bahkan hingga ke penjuru dunia dimulai dari tiga titik yang dulunya hanya sebatas wilayah perkampungan saja hingga pada perkembangannya saat ini, kampung-kampung tersebut telah berkembang menjadi kampung modern yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan kemuhammadiyahan.
Lantas, mengapa Muhammadiyah dapat berkembang dan memulai sejarahnya dari ketiga kampung tersebut? Pada artikel ini akan diulas secara mendalam tentang bagaimana ketiga kampung tersebut dapat menjadi titik awal berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah hingga ke penjuru dunia.
Kampung Kauman
Sumber Foto: Wikimedia Commons
Sebagai warga persyarikatan, tentu tidak asing dengan nama kampung yang satu ini. Kampung Kauman yang mana dalam peran kebangsaannya tercatat menjadi basis perlawanan terhadap penjajah baik secara ideologis maupun fisik. Melalui kampung ini juga, salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia “Muhammadiyah” didirikan.
Muhammadiyah sendiri didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan di Yogyakarta tepatnya di kampung Kauman ini dan beberapa putra asli Kauman yang pernah dipercaya memimpin Muhammadiyah antara lain, KH. Ibrahim, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Badawi, KH. M. Yunus Anis dan KH. Ahmad Azhar Basyir. Sedangkan putri Kauman yang pernah memimpin ‘Aisyiyah antara lain: Siti Bariyah selaku Ketua ‘Aisyiyah pertama, Siti Munjiyah, Siti Hayinah, Siti Badilah, Siti Aisyah Hilal, Prof. Siti Baroroh Baried, dan Prof. Siti Chamamah Soeratno.
Dengan lahirnya Muhammadiyah yang berbasis di Kauman ini, pola pikir umat Islam di Indonesia menjadi lebih terbuka dan moderat. Gerakan modernisasi (tajdid) Muhammadiyah mendorong umat Islam dalam melakukan pembaruan pemikiran untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi umat Islam dan bangsa Indonesia dengan merujuk pada Al Quran dan As Sunnah.
Termasuk sejak lahirnya Muhammadiyah oleh KH Dahlan pada tahun 1912, kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi dimulai dari kampung ini. Dengan mengadopsi beberapa hal dari sekolah kolonial Belanda, sistem pendidikan di Kauman juga tetap mempertahankan pengajaran agama islam sebagai kurikulum utamanya.
Beberapa kegiatan perekonomian pada saat itu juga turut berkembang di kampung ini seperti berkembangnya industri batik dan tekstil di Kauman. Kauman dalam perkembangannya hingga saat ini kemudian menjadi salah satu pionir sejarah Muhammadiyah yang begitu kental.
Sebagai informasi tambahan, saat ini menurut data yang diperoleh dari BPS, Kampung Kauman memiliki luas wilayah sekitar 1 km yang mana secara administratif kampung ini berada di wilayah kelurahan ngupasan, kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
Kampung Karangkajen
Sumber Foto: Alboem Moehammadijah poenja M. Junus Anis
Terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta tepatnya pada wilayah Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Nama Karangkajen memiliki arti “Tempat Kehormatan” di mana kata “Karang” dalam bahasa jawa menunjukkan arti pekarangan atau tanah yang luas, dan “Kajen” memiliki arti haji, kaji, dan diajeni atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “yang dihormati”.
Karangkajen pernah menjadi salah satu pusat produksi batik yang besar pada masanya, dan hampir di setiap rumah terdapat perusahaan batik. Bahkan disebutkan para saudagar batik di Karangkajen masih memiliki hubungan baik dengan Keraton yang dibuktikan dengan keberadaan saudagar batik yang juga menjadi abdi dalem Keraton yang dianugerahi nama kehormatan dari Keraton.
Belum diketahui secara pasti sejak kapan kampung ini menjadi pusat Batik, begitupun siapa yang memulainya. Namun, jika berdasar pada sejarah produksi batik keraton, ditemukan bahwa sosok lelaki asli Kauman yang merupakan putra dari Haji Bilal Atmajoewana menikah dengan salah satu cucu Sultan Hamengku Buwono VII yang bernama R.Ay Sunarti Hadinegara yang kemudian mendirikan perusahaan di Karangkajen Yogyakarta. Pada datanya di tahun 1927 diketahui saat itu di Kauman memiliki 26 perusahaan batik, sedangkan di Karangkajen memiliki 14 perusahaan, begitupun yang ada di Kota Gede.
Kedua, Karangkajen juga dikenal dengan kampung sempat yang mana kampung ini menjadi pusat pergerakan dakwah Islam pada masanya sebab banyaknya penduduk setempat yang menjadi muballigh dengan berbagai program kerja dakwahnya.
Kampung Kotagede
Sumber Foto: Pusaka Indonesia
Didirikan pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1912, Muhammadiyah telah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berpengaruh di tingkat nasional maupun internasional. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Muhammadiyah konsisten mengusung peran di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial, tanpa terlibat dalam politik praktis pada masa kolonial. Melalui pendirian sekolah, klinik, rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai amal usaha, Muhammadiyah menegaskan komitmennya untuk memajukan umat.
Salah satu wilayah yang turut tercatat sebagai jejak perjalanan penting perkembangan Muhammadiyah adalah Kotagede, Yogyakarta. Dikenal sebagai pusat perdagangan dan industri pribumi yang khas, Kotagede sejak dahulu menjadi simpul ekonomi dan budaya yang melayani wilayah luas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada pertengahan 1910-an, di Kotagede berdiri sebuah perkumpulan keagamaan bernama Syarekatul Mubtadi. Organisasi ini dibentuk oleh sejumlah tokoh Muslim setempat dengan tujuan meningkatkan pemahaman Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Pada tahun 1923, Syarekatul Mubtadi resmi bergabung menjadi Cabang Muhammadiyah Kotagede, seiring dengan meluasnya pengaruh Muhammadiyah dari Yogyakarta ke daerah-daerah lain di Jawa.
Sejak saat itu, Muhammadiyah Kotagede berkembang pesat. Menurut catatan peneliti asal Jepang, Mitsuo Nakamura, pada tahun 1972 terdapat ribuan warga dari sekitar 15.000 penduduk Kotagede yang menjadi anggota Muhammadiyah. Pertumbuhan ini disertai kontribusi signifikan di tingkat regional dan nasional. Banyak kader Muhammadiyah Kotagede menempati posisi strategis di pemerintahan provinsi, kotamadya, hingga kelurahan di Yogyakarta.
Selain itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah di berbagai daerah, termasuk lembaga pendidikan Islam lainnya, banyak menerima tenaga pengajar dari kalangan Muhammadiyah Kotagede. Dari sini, lahir generasi profesional unggul — mulai dari dokter, insinyur, pengacara, dosen, hingga guru besar — yang sebagian besar berasal dari keluarga Muhammadiyah.
Hingga kini, Cabang Muhammadiyah Kotagede dikenal sebagai salah satu cabang paling aktif dan berpengaruh. Dengan sejarah panjang lebih dari satu abad, cabang ini terus memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan umat dan bangsa, serta menjadi sumber dukungan strategis bagi Persyarikatan di berbagai lini.
Penulis: Bhisma
Referensi
Faruqi, M. U. (2023). Sejarah Karangkajen 1920-1970: Sinergi Industri Batik, Dakwah, dan Perjuangan . Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (2022). Ensiklopedia Muhammadiyah 2.0: Membangun Indonesia Berkemajuan. Yogyakarta: Gramasurya.
Nakamura, M. (2012). The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c.1910-2010. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Singapore (ISEAS Publishing).