Sebagian orang beranggapan bahwa pajak yang dibayarkan kepada negara bisa menggantikan kewajiban zakat, atau sebaliknya, zakat yang telah ditunaikan membuat seseorang terbebas dari pajak.
Namun, pandangan ini kerap keliru. Meski di permukaan keduanya tampak memiliki kesamaan, sesungguhnya zakat dan pajak memiliki perbedaan mendasar yang tidak bisa diabaikan.
Memang, tidak dapat dipungkiri ada beberapa titik temu antara zakat dan pajak, di antaranya:
- Pertama, keduanya bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri.
- Kedua, baik zakat maupun pajak biasanya disetorkan pada lembaga resmi demi memastikan penarikan dan penyalurannya lebih efisien.
- Ketiga, tujuan keduanya memiliki kemiripan: mengatasi persoalan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan di masyarakat.
Tetapi, meskipun tampak selaras dalam fungsi sosial dan pengelolaannya, menyamakan pajak dan zakat begitu saja adalah kesalahan fatal. Ada perbedaan filosofis, hukum, dan teknis yang membuat keduanya berdiri di atas landasan yang berbeda.
PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK
Dari segi makna dan istilah
Zakat berasal dari bahasa Arab “زكى” (zakā) yang berarti bersih, bertambah, dan berkembang. Dalam syariat Islam, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syarak.
Sementara itu, pajak dalam hukum Islam memiliki beberapa padanan istilah, seperti al-jizyah, al-kharaaj, adh-dhariibah, dan al-‘usyuriyah. Dalam pengertian umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang, yang harus dibayarkan kepada negara atau pemerintah terkait pendapatan, pemilikan, atau transaksi tertentu.
Dasar hukum yang berbeda
Zakat adalah kewajiban agama yang ditegaskan langsung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah berfirman:
…وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 43).
Juga dalam ayat lain:
…خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. at-Taubah [9]: 103).
Rasulullah Saw pun memberikan ancaman keras bagi yang enggan menunaikan zakat, seperti dalam hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah:
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ…
“…Barangsiapa yang diberi kekayaan oleh Allah lalu ia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul yang berbisa, lalu melilit lehernya sambil berkata: ‘Aku adalah kekayaanmu yang kamu timbun dulu’…”(HR. al-Bukhari no. 1315).
Sedangkan pajak sepenuhnya berdasar pada undang-undang negara dan keputusan politik fiskal, bukan pada nash agama.
Motivasi pembayaran
Zakat dibayarkan sebagai bentuk ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Motivasi ini bersumber dari iman dan takwa, sebagaimana perintah Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ…
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS. al-Baqarah [2]: 267).
Sementara pajak dibayar karena adanya kewajiban hukum negara, dengan sanksi administratif atau hukum bagi yang melanggar.
Nisab dan tarif
Nisab zakat dan besarannya telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya, bersifat tetap dan mutlak. Misalnya, hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menyebut:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْد صَدَقَةٌ…
“Tidaklah wajib zakat pada yang kurang dari lima unta… dan tidak wajib zakat pada yang kurang dari lima wasaq (±653 kg).” (HR. al-Bukhari no. 1355).
Sebaliknya, pajak memiliki tarif yang ditetapkan pemerintah dan bisa berubah mengikuti kondisi ekonomi.
Obyek yang dikenai
Zakat hanya berlaku pada harta yang produktif atau berkembang, sebagaimana sabda Nabi Saw:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ
“Seorang Muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari budak atau kudanya.” (HR. al-Bukhari no. 1371).
Sedangkan pajak dapat dikenakan pada hampir semua jenis harta, baik produktif maupun tidak.
Perhitungan dan penyaluran
Perhitungan zakat dapat dilakukan oleh muzaki sendiri atau dibantu lembaga amil zakat. Sedangkan pajak dihitung melalui administrasi resmi negara, bahkan melibatkan jasa akuntan.
Penerima manfaat
Zakat hanya diberikan kepada delapan golongan yang telah ditentukan syariat:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ…
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, memerdekakan hamba sahaya, orang yang berutang, di jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan…” (QS. at-Taubah [9]: 60)
Pajak, di sisi lain, digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan negara, tanpa batasan agama atau kategori tertentu.
Kesimpulan
Melihat perbedaan ini, jelaslah bahwa pajak dan zakat adalah dua kewajiban yang berdiri sendiri. Membayar pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat, dan membayar zakat tidak menghapus kewajiban pajak.
Zakat adalah perintah langsung dari Allah yang berdimensi ibadah dan sosial, sementara pajak adalah instrumen kebijakan negara untuk mengatur perekonomian dan pembangunan.
Menggabungkan keduanya tanpa memahami perbedaan mendasar hanya akan menimbulkan kekeliruan dalam beragama dan bernegara.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Kewajiban Zakat Profesi Setelah Dipotong Pajak”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No.1 Tahun 2012.