MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Alimatul Qibtiyah, menegaskan pentingnya memahami kesetaraan dan keadilan gender dari perspektif Islam dalam acara Gerakan Subuh Mengaji pada Senin (11/08).
Dalam paparannya, Alimatul menjelaskan bahwa kesetaraan dan keadilan gender sering disalahpahami sebagai konsep Barat yang bertentangan dengan Islam. Miskonsepsi ini menganggap gerakan gender melemahkan laki-laki, menyebabkan perceraian, atau merusak institusi keluarga.
Ia menegaskan bahwa gender bukanlah agenda Barat, melainkan bagian dari ajaran Islam yang menjunjung kesetaraan dan keadilan. Untuk mendukung pandangannya, ia memaparkan lima dimensi gender: sebagai fenomena sosial, persoalan, perspektif, alat analisis, dan gerakan kesadaran.
“Gender itu konstruksi sosial, bukan kodrat biologis. Misalnya, perempuan memakai jilbab atau laki-laki memakai kopiah adalah fenomena sosial. Namun, ketika seorang profesor perempuan tidak diakui sebagai penguji hanya karena gendernya, itu menjadi persoalan,” ujar Alimatul.
Ia juga menyoroti bagaimana pandemi memperlihatkan ketidakadilan gender, di mana perempuan menanggung beban domestik dan pengasuhan jauh lebih besar, namun sering kali tidak dihargai.
Alimatul menegaskan bahwa Islam mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender. Dalam QS An-Nisa ayat 1, laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat yang sama (min nafsin wāḥidah). Keduanya sama-sama sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, memiliki potensi yang setara untuk meraih prestasi dan pahala, serta bertanggung jawab atas perbuatannya.
Ia juga menyinggung ayat seperti An-Nisa ayat 34 tentang “ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’”, yang sering disalahartikan sebagai superioritas laki-laki. Menurutnya, istilah “qawwām” lebih tepat ditafsirkan sebagai pendamping, bukan penguasa, sebagaimana dijelaskan dalam buku Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an.
Alimatul juga mengkritisi penafsiran hadis tertentu, seperti hadis tentang ketaatan istri kepada suami, yang sering digunakan untuk membenarkan subordinasi perempuan. Ia menjelaskan bahwa beberapa hadis tersebut, seperti yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, memiliki status dhaif (lemah) atau perlu dipahami dalam konteks spesifik, seperti kehidupan pasangan baru menikah.
“Penafsiran tekstual yang keliru bisa memicu ketidakadilan gender. Kita perlu memahami asbabun nuzul dan konteksnya,” tegasnya.
Ketidakadilan Gender dan Dampaknya
Alimatul menyoroti berbagai bentuk ketidakadilan gender yang masih terjadi, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Bagi perempuan, beban domestik berlebihan, pelabelan negatif sebagai “sumber fitnah”, dan diskriminasi di ranah publik, seperti upah lebih rendah, masih marak.
Data menunjukkan selama pandemi, perempuan menanggung beban pengasuhan empat kali lipat dibandingkan laki-laki. Sementara itu, laki-laki juga menghadapi ketidakadilan akibat budaya patriarki, seperti tekanan menjadi pencari nafkah utama yang dapat memicu krisis maskulinitas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau perilaku merusak seperti perselingkuhan.
Ia juga mengungkap data WHO dan Kementerian Kesehatan bahwa 70-80% kasus bunuh diri di Indonesia melibatkan laki-laki, meskipun perempuan lebih sering mencoba bunuh diri dengan metode kurang fatal. Hal ini mencerminkan tekanan sosial dan stigma bahwa laki-laki tidak boleh mengekspresikan emosi, yang berujung pada gangguan mental.
“Laki-laki dianggap cengeng jika curhat. Ini adalah toksik maskulinitas yang merugikan kesehatan mental mereka,” ungkap Alimatul.
Muhammadiyah dan Keadilan Gender
Mengutip kondisi perempuan pada masa Jahiliyah, Alimatul menjelaskan bahwa Islam telah merevolusi status perempuan dari tidak dianggap manusia menjadi memiliki hak setara, seperti hak waris, mahar, dan perlindungan. Umar bin Khattab, misalnya, menyadari pentingnya menghormati hak perempuan setelah datangnya Islam.
“Islam mengubah relasi kuasa menjadi relasi kasih sayang, tanggung jawab, dan perlindungan,” katanya.
Alimatul mengajak umat Islam untuk menghidupkan nilai kesetaraan dan keadilan gender melalui ekosistem yang mendukung. Ia menekankan bahwa kesetaraan gender bukan berarti menyamakan laki-laki dan perempuan secara identik, tetapi memastikan hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang setara tanpa dibatasi oleh jenis kelamin.
Keadilan gender, di sisi lain, memerlukan tindakan afirmatif untuk mengatasi ketimpangan historis.
Sebagai bagian dari Muhammadiyah, Alimatul menyoroti peran persyarikatan dalam memajukan kesetaraan gender. Di Universitas Aisyiyah Yogyakarta, misalnya, separuh penceramah Ramadan adalah perempuan yang tampil di podium, menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kapasitas memimpin dalam ranah ritual.
Ia juga mengapresiasi meningkatnya representasi perempuan di Tarjih dan berbagai bidang, termasuk data BKN yang menunjukkan 56% ASN perempuan pada 2023.
Alimatul mengakhiri paparannya dengan mengajak jemaah untuk terus mengkaji isu gender dengan pikiran terbuka (open mind), hati terbuka (open heart), dan kemauan terbuka (open will) demi mewujudkan Islam berkemajuan yang raḥmatan lil-‘ālamīn.