Oleh: Arif Jamali Muis
Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY
Kata merdeka yang hari ini banyak diucapkan sesungguhnya menyimpan riwayat panjang dalam sejarah bahasa dan kebudayaan. Ia berasal dari kata mahardika dalam bahasa sansekerta yang pada mulanya tidak merujuk pada bebas dalam belenggu politik dan penindasan, melainkan menjadi anasir pada mereka yang terpelajar dan bijaksana. Menyitir ungkapan Yudi Latif (2025), dalam kearifan Jawa Kuno, sebutan mahardika itu banyak dilekatkan pada para bhikkhu Budha, penjaga ilmu dan kesucian. Mereka yang marbatnya lahir bukan karena harta atau tahta, namun dari kedalaman penetahuan dan ketinggian budi.
Dari pemaknaan itu, dapat dipahami bahwa kemerdekaan itu sendiri bukanlah hadiah persembahan, namuan hasil dari keberhasilan manusia untuk menguasai dirinya sendiri melalui perangkat ilmu dan kebajikan. Dalam kemerdekaan sejati, semua manusia dapat berdiri sejajar dan sama-sama terhormat tanpa memandang kelas, kasta dan asal-usul keturunan. Maka merdeka itu hakikatnya adalah kepemilikan penuh manusia atas akal budi dan nurani. Dalam istilah Buya Syafii Maarif (2016), ‘aqlun shahih wa qalbu salim (akal yang sehat dan hati yang bening).
Pendidikan Jalan Kemerdekaan
Para pendiri republik ini, jauh sebelum proklamasi dikumandangkan, telah memahami bahwa kemerdekaan tidak lahir hanya dari perundingan diplomatik atau perlawanan bersenjata, tetapi mesti dipersiapkan melalui pendidikan. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara adalah dua contoh yang menempatkan sekolah sebagai medan pertama kemerdekaan. Sejak awal, mereka membangun lembaga pendidikan yang menolak segala bentuk hierarki feodal di dalam kelas: tidak boleh ada jarak kasta antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid. Pendidikan, dalam pandangan mereka, adalah ruang di mana semua orang berdiri sejajar di hadapan ilmu.
Pandangan ini tentu tidak sejalan dengan logika kolonial Hindia Belanda, yang melihat sekolah sebagai instrumen pengendalian sosial. Karena itu, sekolah-sekolah swasta seperti Taman Siswa dan sekolah-sekolah Muhammadiyah dicap sebagai wildescholen, sekolah liar (Mohammad Ali Dkk, 2007). Stigma tersebut disematkan hanya karena mereka memilih untuk mendidik manusia merdeka, bukan sekadar subjek yang patuh pada kekuasaan. Dalam stigma itu sesungguhnya tersimpan pengakuan terselubung, bahwa pendidikan yang membebaskan adalah ancaman paling serius bagi penjajahan.
Dentum suara kemerdekaan itu sendiri, pada akhirnya, lahir dari kaum muda terdidik. Di awal abad ke-20, benih itu tumbuh di kalangan mahasiswa kedokteran School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), yang pada 20 Mei 1908 mendirikan organisasi modern bernama Boedi Oetomo. Dari sinilah kelak kita menandai Hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo tidak lahir dari barisan pasukan bersenjata, tetapi dari meja belajar dan ruang diskusi para calon dokter yang percaya bahwa membebaskan bangsa dimulai dengan mencerdaskan warganya. Embrio kemerdekaan Indonesia, dengan demikian, bukanlah hasil ledakan mendadak, melainkan buah dari proses panjang kaum muda yang menggerakkan pendidikan sebagai strategi paling damai sekaligus paling subversif untuk melawan penjajahan.
Tantangan Hari Ini
Jauh setelah kemerdekaan diproklamasikan, medan perjuangan bangsa tidak lantas kosong. Kemerdekaan politik ternyata hanya membuka pintu, bukan menyelesaikan seluruh persoalan. Dalam bidang pendidikan tantangan baru muncul, tak kalah rumit dari masa kolonial, meski wujudnya berbeda. Jika di masa pra-kemerdekaan ketidakmerataan pendidikan lahir dari minimnya akses dan infrastruktur, maka hari ini ia tampil dalam bentuk yang lebih rigid: ketimpangan sumber daya, keterbatasan teknologi, dan kualitas layanan pendidikan yang belum merata di seluruh pelosok negeri.
Ketimpangan ini melahirkan konsekuensi yang berlapis. Pada tingkat individu, anak-anak di daerah tertinggal kerap tumbuh dengan kemampuan akademik terbatas, peluang kerja yang sempit, dan mobilitas sosial yang terhambat. Pada tingkat masyarakat, jurang antarwilayah kian menganga: kemiskinan diwariskan lintas generasi, inovasi lokal mengering, dan terjadi migrasi pendidikan yang menguras sumber daya manusia di daerah. Pada tingkat nasional, dampaknya menggerogoti produktivitas tenaga kerja, memperkuat ketergantungan pada pusat, melemahkan kualitas demokrasi, dan menghambat pemerataan pembangunan. Di sinilah kita melihat bahwa kemerdekaan, tanpa pemerataan mutu pendidikan, masih berisiko menjadi janji yang setengah terpenuhi—sebuah kemerdekaan yang belum seluruhnya membebaskan.
Pendidikan Bermutu untuk Semua
Kesadaran akan tantangan-tantangan kontemporer inilah yang mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memulai langkah transformasi pendidikan. Ijtihad tersebut jelas bukanlah sekadar penyesuaian teknis kurikulum atau penambahan fasilitas belaka, melainkan sebagai respons sebuah zaman yang ditandai oleh ketidakpastian, ketidak menentuan, kompleksitas dan dinamika yang sulit diprediksi (Suyanto DKK, 2025). Pendidikan yang bermutu dan merata adalah sebuah proyek kebangsaan yang mendorong bangsa Indonesai keluar dari bayang-bayang sejarah penjajahan.
Pendidikan yang bermutu untuk semua akan menjadi ruang strategis dimana setiap anak, dari desa terpencil hingga kota-kota besar dapat memiliki hak yang sama untuk memasuki arena pengetahuan dan menjadikan pengetahuan tersebut sebagai instrumen kehidupan. Di atas proyek kebangsaan itulah, tumbuh cita-cita kemerdekaan yang lebih konkret: melahirkan masyarakat yang tidak saja bebas dari belenggu politik, namun juga berdaya secara intelektual, ekonomi dan sosial. Dengan begitu, maka pendidikan bermutu untuk semua adalah kelanjutan historis dari revolusi kemerdekaan, revolusi yang bukan saja untuk mengusir penjajah, namun lebih dalam dari itu, mengusir kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan dalam ruang hidup bangsa Indonesia.