MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Masudi, menyampaikan ceramah tentang pembiayaan haji dalam perspektif tarjih di Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (13/08).
Dalam kultum siang itu, ia menekankan pentingnya istithā‘ah māliyyah (ٱسْتِطَاعَة مَالِيَّة, kemampuan finansial), kehalalan sumber dana, dan tata kelola yang efisien demi terwujudnya haji mabrūr (مَبْرُور), sembari mengkritik praktik-praktik yang menyimpang seperti korupsi dan penggunaan dana non-halal.
Ceramah dibuka dengan pertanyaan interaktif kepada jemaah: apakah biaya haji dianggap mahal atau murah? Masudi bahkan menyiapkan hadiah Rp50.000 untuk yang menjawab.
Salah seorang jemaah mengatakan “mahal” karena keterbatasan finansial, sementara yang lain menyebut “murah” jika dibandingkan dengan pahala yang diperoleh.
Menurut Masudi, penilaian ini bergantung pada situasi masing-masing individu. “Bagi warga Indonesia, haji relatif mahal. Tetapi bagi warga Makkah atau Madinah, haji bisa murah meriah,” ujarnya.
Mengutip Al-Qur’an, ia mengingatkan bahwa haji adalah kewajiban hanya bagi yang mampu (istithā‘ah, ٱسْتِطَاعَة), sebagaimana termaktub dalam ayat wa lillāhi ‘ala al-nāsi ḥijju al-baiti (وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ).
Dalam konteks Indonesia, istithā‘ah mencakup dua aspek utama: kesehatan dan kemampuan finansial. Ia menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan agar tidak ada jemaah yang berisiko meninggal di Tanah Suci, yang bisa merepotkan pihak penyelenggara. Namun, sorotan utamanya adalah aspek finansial, terutama kehalalan sumber dana.
Masudi menegaskan, dana haji harus berasal dari sumber yang halal, sesuai fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Ia menyesalkan adanya pejabat yang menunaikan haji dengan dana hasil korupsi, terutama untuk haji plus atau haji furūdah (فُرُوضَة) yang biayanya jauh lebih tinggi dibandingkan haji reguler.
“Majelis Tarjih sudah menerbitkan buku fikih anti-korupsi yang jelas menegaskan: haji harus dibiayai dari harta halal,” ujarnya, seraya mengingatkan adanya fatwa serupa tentang keharaman rokok dan rokok elektrik.
Selain itu, ia mengingatkan fatwa Muhammadiyah tentang haramnya bunga bank konvensional. Tabungan berbunga dari bank konvensional, menurutnya, tidak boleh digunakan untuk membiayai haji.
Dalam perbankan syariah, bunga bank dikategorikan sebagai dana non-halal yang tidak boleh diakui sebagai pemasukan pribadi, melainkan disalurkan untuk kepentingan sosial. “Kalau kita masih punya dana di bank konvensional, kita harus tahu bagaimana menyalurkan bunganya,” tegasnya.
Dalam hal tata kelola, Masudi menyoroti pengelolaan dana haji yang belum sepenuhnya transparan dan efisien. Ia mengacu pada kasus “Gosmen” dalam penyelenggaraan haji 2024 yang kini diselidiki KPK. Menurutnya, dana haji harus mengikuti prinsip akuntansi syariah, dikelola secara terbuka, dan hasilnya diumumkan kepada publik.
“Dana haji harus memberi manfaat sosial, termasuk untuk ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan haji untuk meningkatkan efisiensi. Mencontoh gagasan KH Sudja tentang kapal haji—yang dulu ditolak Belanda—Masudi menyarankan agar konsep tersebut dipertimbangkan kembali sebagai moda transportasi yang memadukan ibadah dan wisata.
“Di Arab Saudi, haji dikelola delapan perusahaan swasta. Di Indonesia, ormas Islam harus dilibatkan untuk mengurangi tumpang tindih peran regulator dan eksekutor,” katanya, sekaligus menyinggung dugaan adanya kartel haji yang menguntungkan segelintir pihak.
Lebih lanjut, ia membandingkan durasi haji reguler di Indonesia yang mencapai 40 hari dengan haji plus (25 hari) dan haji furūdah (20 hari atau kurang). Menurutnya, memangkas durasi menjadi 30–35 hari akan menghemat biaya dan membuat haji lebih terjangkau.
“Negara lain bisa menyelenggarakan haji dengan biaya lebih murah, meskipun jemaahnya lebih sedikit. Kenapa kita tidak bisa?” tanyanya.
Menutup ceramah, Masudi merangkum tiga poin utama fatwa Majelis Tarjih: fikih anti-korupsi, keharaman bunga bank, dan fikih tata kelola yang efisien. Tiga panduan ini, menurutnya, menjadi kunci agar pembiayaan haji terjangkau, sesuai syariat, dan menghasilkan haji mabrūr.
“Semoga ibadah haji kita benar-benar dari dana halal dan dikelola dengan baik,” pungkasnya.