MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam acara Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan pada Kamis (08/08), Anggota Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM), Cecep Taufiqurrohman, menyampaikan pandangan tegas bahwa tidak ada sistem pemerintahan yang lebih islami antara khilafah dan sistem kebangsaan.
Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis tidak memerintahkan pembentukan sistem pemerintahan tertentu, termasuk khilafah, melainkan hanya menekankan penegakan syariat Islam sebagai jaminan kesejahteraan umat.
Cecep menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis tidak menyebutkan secara eksplisit bentuk pemerintahan seperti khilafah dengan redaksi yang tidak memerlukan takwil.
“Jika Al-Qur’an memerintahkan khilafah secara jelas, maka wajib bagi umat Islam untuk mendirikannya. Namun, faktanya, Al-Qur’an hanya memerintahkan penegakan syariat, bukan bentuk negara tertentu,” tegasnya.
Menurutnya, bentuk kepemimpinan atau pemerintahan merupakan produk ijtihad manusia yang harus disesuaikan dengan tantangan zaman.
Ia mencontohkan pandangan ulama dan ahli tata negara Mesir, Abdur Razzaq al-Sanhuri, yang menyusun undang-undang bagi sejumlah negara Arab. Dalam disertasinya di Prancis, al-Sanhuri berpendapat bahwa sistem khilafah di era modern perlu diubah bentuknya agar relevan. Ia menyebut Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebagai cerminan khilafah modern, bukan negara universal yang terpusat.
“Sistem khilafah bukanlah satu-satunya pilihan. Negara bangsa, republik, atau kerajaan diperbolehkan selama syariat Islam dapat ditegakkan dengan baik,” ujar Cecep.
Cecep juga menyinggung sejarah pembubaran khilafah di Turki pada 1923 oleh Mustafa Kemal Ataturk akibat gejolak politik. Menurutnya, konteks ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan harus adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Dalam konteks Indonesia, ia menegaskan bahwa meskipun bukan negara Islam, Indonesia telah menerapkan banyak syariat Islam melalui undang-undang dan peraturan pemerintah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Indonesia bukan negara khilafah, tapi telah menegakkan syariat dalam banyak aspek. Ini substansi yang lebih penting ketimbang label,” katanya.
Mengutip Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13, Cecep menegaskan bahwa kebangsaan adalah realitas yang diakui Al-Qur’an. Sistem negara bangsa, menurutnya, telah terbukti menjamin kerukunan dan perdamaian, yang menjadi prasyarat bagi pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.
“Dalam kondisi perang atau konflik, sulit memahami dan mengamalkan Islam. Negara bangsa menjadi wadah untuk menegakkan syariat,” jelasnya.
Cecep juga mengacu pada kaidah ushul fikih, mā lā yatimmu al-wujūb illā bihi fahuwa wājib (sesuatu yang menjadi syarat wajibnya suatu kewajiban, maka itu juga wajib). Dalam hal ini, menegakkan negara bangsa yang menjamin syariat Islam adalah kewajiban, baik bagi individu maupun pemerintah.
Ia menegaskan bahwa Indonesia, dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai pilar kebangsaan, telah dirumuskan oleh para ulama dan tokoh Islam, termasuk Muhammadiyah, yang terinspirasi dari Piagam Madinah.
“Para pendiri bangsa, yang mayoritas tokoh Muslim, tidak memilih Indonesia menjadi bagian dari khilafah. Mereka merumuskan negara bangsa yang berdaulat dan merdeka,” ungkap Cecep.
Ia menyinggung kompromi bersejarah dalam penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta, yang menghasilkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai cerminan tauhid. Keputusan ini, menurutnya, menunjukkan kebijaksanaan para tokoh Muslim dalam menjaga keutuhan bangsa.
Cecep juga menyoroti konsep Dār al-‘Ahd wa al-Syahādah yang diusung Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015. Konsep ini menempatkan negara Pancasila sebagai “negara kesaksian,” tempat umat Islam membuktikan komitmennya dalam membangun kehidupan kebangsaan berlandaskan syariat.
“Sekarang bukan waktunya memperdebatkan bentuk atau dasar negara, tetapi bagaimana umat Islam berperan besar dalam membangun negeri ini berdasarkan nilai-nilai Islam,” tegasnya.
Acara ini ditutup dengan pesan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat NKRI sebagai wadah penegakan syariat.
Cecep berharap pandangan ini dapat memperkuat pemahaman umat tentang hubungan harmonis antara kebangsaan dan keislaman, sekaligus mendorong kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.