Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 menetapkan sebuah keputusan penting yang menjadi pijakan teologis dan ideologis bagi warga persyarikatan: konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy-Syahadah.
Dalam keputusan tersebut, Pancasila dipahami sebagai hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian (dar al-syahadah) menuju Indonesia yang berkemajuan. Ini merupakan sebuah kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Pandangan ini sejalan dengan visi Islam tentang negara idaman yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”—negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah.
Negeri seperti ini tidak hanya stabil secara politik, tetapi juga diridhai Allah karena memiliki ciri-ciri fundamental:
Pertama, penduduknya beriman dan bertakwa sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-A‘raf (7): 96:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ …
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …”
Kedua, masyarakatnya beribadah dan memakmurkan bumi (QS. adz-Dzariyat (51): 56; Hud (11): 61):
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَا …
“Kaum Tsamud berkata: Wahai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan …”
Ketiga, negara itu menjalankan fungsi kekhalifahan dan menghindari kerusakan (QS. al-Baqarah (2): 11, 30):
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”
Keempat, warganya menjaga hubungan harmonis dengan Allah (hablun min Allah) dan dengan sesama (hablun min an-nas) (QS. Ali Imran (3): 112):
… إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ …
“… kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …”
Kelima, negara itu mengembangkan pergaulan setara antarbangsa dan antarsuku (QS. al-Hujurat (49): 13):
إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا …
“Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …”
Keenam, umatnya menjadi bangsa unggulan khaira ummah (QS. Ali Imran (3): 110):
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ …
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …”
Bagi Muhammadiyah, Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim harus terus dibangun menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan, menuju peradaban utama yang bermanfaat bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, nasionalisme menjadi semangat yang tidak boleh pudar.
Majelis Tarjih menegaskan bahwa nasionalisme bukan sekadar slogan cinta tanah air tanpa pembuktian. Ia adalah spirit yang diwujudkan dalam pemikiran dan tindakan membangun bangsa secara amanah dan bertanggung jawab, terutama di tengah tantangan global dan masalah kebangsaan yang kompleks.
Nasionalisme dalam perspektif Muhammadiyah adalah etos kerja untuk mewujudkan cita-cita nasional, bukan chauvinisme yang membutakan atau sekadar romantisme sejarah.
Al-Qur’an sendiri memberikan teladan emosional yang kuat terkait kecintaan pada tanah kelahiran. Allah berfirman dalam QS. al-Qashash (28): 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ …
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali …”
Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah Saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Dalam perjalanan hingga sampai di Juhfah, beliau merasakan kerinduan mendalam kepada tanah kelahirannya.
Melalui wahyu ini, Allah menegaskan bahwa beliau kelak akan kembali ke Makkah, yang terbukti dalam peristiwa Fathu Makkah dan Haji Wada’. Artinya, kecintaan kepada tanah air adalah fitrah yang dimiliki Nabi Saw, dan menjadi bagian dari misi kenabian untuk menegakkan kebaikan di negeri sendiri.
Dari perspektif ini, nasionalisme menurut Majelis Tarjih bukanlah ide yang bertentangan dengan ajaran Islam. Justru ia merupakan manifestasi dari perintah agama untuk memakmurkan bumi, menjaga keadilan, membangun harmoni sosial, dan mengangkat derajat bangsa di hadapan Allah dan dunia.
Indonesia sebagai Darul Ahdi wasy-Syahadah adalah panggung bagi umat Islam untuk membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat dijalankan seiring sejalan dengan ajaran Al-Qur’an—menuju negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Nasionalisme, Radikalisme dan Demokrasi”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 16 Tahun 2020.