MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta, Agus Saeful Bahri memaparkan suri tauladan Nabi Muhammad SAW sebagai motivasi untuk memperbaiki diri, salah satunya terkait menjaga lisan.
Bertempat di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agus menyampaikan kajian menjelang Maulid Nabi SAW pada Pengajian Rutin Bulanan Karyawan PP Muhammadiyah hari Selasa (5/8). Agus mengajak untuk meneladani poin penting dari kisah Luqman Al-Hakim yang dikutip oleh Ibnu Jabir.
Pada suatu masa, Luqman diperintahkan oleh orangtuannya untuk memotong dua bagian yang paling penting dari seekor kambing, lalu Ia memberikan lidah dan hati. Pun ketika Ia diminta untuk memberikan yang terburuk dari seekor kambing, Luqman juga memberikan bagian lidah dan hati.
Kebingungan ini pun dijawab oleh Luqman dengan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dari lidah dan hati, apabila keduanya baik, maka begitu pula sebaliknya.
“Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa lidah dan hati menjadi bagian yang bisa membuat sesuatu itu baik atau buruk,” papar Agus. Berangkat dari ini, Ia kemudian mengajak lebih dalam untuk mengupas salah satu perkaranya, yakni lidah.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Said Al-Khudri R.A. bahwa ada seorang laki-laki yang mengatakan sebuah kalimat dan Allah tidak senang dengan kalimat tersebut. Akan tetapi, Laki-laki tersebut merasa bahwa apa yang dikatakan tidak apa-apa atau dalam artian biasa saja.
Dijelaskan, bahwa perkara yang tidak disukai Allah pada Riwayat ini adalah memanggil orang lain dengan julukan yang tidak sepantasnya. Agus menyampaikan, ancaman dahsyat dan balasan yang kita dapat saat memanggil seseorang dengan sebutan yang buruk adalah dasar api neraka.
Pada riwayat lain, ada kisah Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan menjaga lisan. Rasulullah menegur istrinya, Aisyah R.A. karena menuturkan kekurangan Istri Nabi Muhammad yang lain, Shofiyah sebagai orang yang pendek atas dasar kecemburuannya. Teguran yang diberikan Nabi Muhammad berisi kalimat perumpamaan, yakni apabila kalimat yang diucapkan oleh Aisyah itu dicampurkan ke air laut, maka air laut itu akan berubah menjadi tawar.
Hal ini menunjukkan, meskipun yang diucapkan oleh Aisyah adalah fakta, akan tetapi apa yang telah diucapkan dampaknya sangat getir dan dahsyat sehingga berpotensi melukai hati Shofiyah.
“Maka kita harus menjaga lisan, sama halnya ketika kita merespon dengan cara yang baik agar tidak ada hal yang bisa menyakiti (orang lain). Karena lisan kita itu menjadi ukuran baik tidaknya sebuah hubungan dan ikatan,” ucap Agus.
Semua yang kita dengar, lihat, dan pikirkan, lalu kemudian terucapkan, segalanya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah, maka dari itu, menjaga lisan menjadi sebuah hal yang sangat penting. Dalam konteks keseharian, menjaga lisan adalah sebuah upaya menyelamatkan kita, alih-alih mencelakakan kita.
“jangan sampai itu terjadi (berbicara tanpa berpikir). Kadang-kadang kita menganggap kalimat yang terlontar itu sederhana, meskipun faktanya ada dan disampaikan. Padahal, kalimat tersebut dapat menyakiti hati seseorang tanpa disadari,”pungkas Agus. (Wafiq)