MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Budi Setiawan, Ketua Lembaga Resiliensi Bencana Muhammadiyah, membentangkan kisah tiga pemimpin besar yang menjadi pilar perjalanan Muhammadiyah: Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur.
Kisah tersebut ia sampaikan dalam Pengajian Malam Selasa pada Senin (18/08). Lewat rekaman video lawas, Budi menyingkap kontribusi luar biasa ketiganya dalam membentuk Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwibawa di tanah air.
Setiawan membuka paparan dengan menampilkan rekaman bersejarah yang sempat viral: perhelatan akbar Muhammadiyah di Yogyakarta sekitar 1925–1927. Video ini awalnya dibuat juru kamera Belanda untuk meliput kegiatan Keraton, namun justru menangkap momentum monumental Muhammadiyah di Alun-Alun Utara.
Arsip yang kini tersimpan di Museum Leiden itu menampilkan barisan Pandu Hizbul Wathan (HW) dan massa Muhammadiyah yang tumpah ruah. Minim bendera kala itu, sebagian peserta bahkan mengibarkan kertas kuning sebagai tanda semangat.
Menurut Setiawan, peristiwa tersebut kemungkinan besar adalah apel anti-komunis, memperlihatkan pengaruh besar Muhammadiyah di masa kolonial. Meski film itu masih bisu, kemudian diedit dengan iringan lagu Hilir-Hilir, nuansanya tetap menggugah dan menghadirkan kembali suasana heroik masa lalu.
Kiai Ibrahim: Menyambung Napas Perjuangan Kiai Dahlan
Kepemimpinan Kiai Ibrahim (1923–1934) menjadi titik penting estafet perjuangan setelah wafatnya Kiai Ahmad Dahlan. Lahir pada 1874, ia adalah ipar Kiai Dahlan sekaligus putra Kiai Fadil, penghulu terhormat di Kesultanan Yogyakarta. Kemahirannya dalam qiraat dan bahasa Arab membuatnya disegani, bahkan melebihi Kiai Dahlan.
Awalnya sempat ragu memikul tanggung jawab besar, Kiai Ibrahim akhirnya dipercaya memimpin melalui kongres tahunan 1923. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah berkembang pesat, merambah desa-desa Hindia Timur.
Ia melahirkan berbagai terobosan: Fonds Dahlan sebagai dana pendidikan anak miskin, khitanan massal pertama (1925), serta badan perkawinan untuk menjaga nilai-nilai keluarga Muhammadiyah. Pendirian Majelis Tarjih pada 1927 menjadi tonggak penting penyusunan fatwa dan konsistensi teologis organisasi.
Meski sempat dituding berkolaborasi dengan Belanda melalui Politiek-Economische Bond (PEB), Kiai Ibrahim menepis keraguan itu dengan keterbukaan: mempublikasikan laporan keuangan dan notulensi rapat kepada cabang-cabang. Transparansi ini justru memperkokoh kepercayaan anggota.
Kiai Hisyam: Pendidikan dan Disiplin Organisasi
Lahir pada 1883, Kiai Hisyam memimpin Muhammadiyah dari 1934 hingga 1937. Terpilih lewat kongres, kepemimpinannya menandai babak baru yang lebih demokratis. Fokus utamanya adalah pendidikan dan penguatan disiplin organisasi.
Kiai Hisyam melakukan standarisasi sekolah Muhammadiyah dengan kurikulum modern, menyesuaikan pola Belanda namun tetap berlandaskan Islam. Ia mendirikan Volkschool (SD tiga tahun), Standaardschool (SD enam tahun), hingga HIS met de Quran, sekolah bergengsi yang memungkinkan lulusan Muhammadiyah masuk administrasi kolonial.
Kebijakannya menerima subsidi pemerintah kolonial menuai kritik karena dianggap terlalu akomodatif. Namun langkah itu membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah tumbuh cepat dengan biaya terjangkau, bahkan menyaingi sekolah Belanda.
Dedikasi keluarga Kiai Hisyam juga terlihat dari putra-putranya—Jazari dan Hajam—yang menjadi pendidik di lembaga Muhammadiyah maupun sekolah Belanda.
Meski demikian, kepemimpinannya menghadapi gesekan dari generasi muda yang lebih progresif. Setelah melewati kongres penuh dinamika pada 1937, ia akhirnya memilih mundur.
Kiai Mas Mansur: Nasionalisme dan Pembaruan
Kiai Mas Mansur (1896–1946) hadir membawa semangat baru. Lahir di Surabaya dari keluarga terpandang, ia menimba ilmu dari Kiai Kholil Bangkalan, lalu menuntut ilmu di Mekkah dan Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sanalah ia terpapar gagasan pembaruan dari Jamaluddin Al-Afghani dan tokoh-tokoh besar lain.
Sebelum bergabung Muhammadiyah (1921), ia aktif di Syarikat Islam bersama Soekarno dan rekan seperjuangan lain, yang membentuk jiwa nasionalismenya. Saat memimpin Muhammadiyah sejak 1937, ia menegakkan disiplin organisasi: keputusan harus dibuat di kantor, bukan di rumah pribadi. Ia juga memperkenalkan dua gagasan besar: Langkah 12 dan Al-Masail al-Khamsa, yang memperkokoh nilai dasar Muhammadiyah.
Di masa pendudukan Jepang, ia tergabung dalam Empat Serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro. Namun, ia memilih mundur karena menolak kekejaman Jepang. Ia turut menggagas berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian menjadi embrio Masyumi.
Tragisnya, setelah pertempuran Surabaya 1945, ia ditangkap dan disiksa Belanda hingga wafat pada 1946. Atas jasanya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional bersama Kiai Fakhruddin.
Budi Setiawan menutup pengajian dengan menegaskan: meski menghadapi tantangan berbeda, Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur sama-sama memberikan fondasi penting bagi Muhammadiyah. Mulai dari ekspansi dakwah, modernisasi pendidikan, hingga perjuangan kebangsaan.