إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نبينا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ
عِبَادَ اللَّهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ، فَتَقْوَى اللَّهِ فَوْزٌ لَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Hadirin jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Marilah kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya takwa adalah bekal terbaik menuju kehidupan yang diridhai Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 197:
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ
“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Pada kesempatan yang mulia ini, izinkan kami menyampaikan sebuah visi kebangsaan yang telah menjadi pijakan teologis dan ideologis bagi warga Muhammadiyah, sebagaimana ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada tahun 2015. Keputusan penting itu adalah konsep Negara Pancasila sebagai Dār al-‘Ahdi wa asy-Syahādah.
Konsep ini memahami Pancasila sebagai hasil konsensus nasional (dār al-‘ahdi), sebuah perjanjian bersama seluruh elemen bangsa, sekaligus sebagai tempat pembuktian (dār asy-syahādah) menuju Indonesia yang berkemajuan.
Indonesia yang berkemajuan adalah negeri yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat, sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Visi ini selaras dengan ajaran Al-Qur’an tentang negeri idaman, yang disebut sebagai “baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr” atau negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah.
Hadirin yang berbahagia,
Al-Qur’an memberikan panduan jelas tentang ciri-ciri negeri yang diridhai Allah.
Pertama, penduduknya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Allah Swt berfirman dalam Surah Al-A‘raf ayat 96:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …”
Keimanan dan ketakwaan penduduk suatu negeri bukan sekadar urusan pribadi, melainkan modal sosial yang menentukan keberkahan kolektif. Dalam pandangan Islam, keberkahan yang dimaksud mencakup kemakmuran ekonomi, ketentraman sosial, dan keamanan politik.
Oleh karena itu, membangun masyarakat yang beriman dan bertakwa berarti membangun pondasi kokoh bagi tegaknya keadilan dan tercapainya kesejahteraan bersama.
Hadirin yang berbahagia,
Kedua, masyarakatnya menjalankan ibadah kepada Allah dan memakmurkan bumi. Allah Swt berfirman dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Memakmurkan bumi adalah perwujudan nyata dari pengabdian kepada Allah. Dalam konteks kebangsaan, hal ini berarti mengelola sumber daya alam secara bijak, membangun infrastruktur yang bermanfaat, serta menciptakan lapangan kerja yang luas.
Ibadah bukan hanya terbatas pada ritual, tetapi juga mencakup kontribusi aktif dalam membangun peradaban yang diridhai-Nya.
Hadirin yang berbahagia,
Ketiga, negeri itu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan menghindari kerusakan di muka bumi. Allah Swt menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 11:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”
Menjalankan fungsi kekhalifahan berarti menjaga kelestarian lingkungan, mencegah kerusakan moral, dan menghindari kebijakan yang merugikan rakyat. Islam menolak segala bentuk kerusakan (fasād), baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung.
Pemimpin dan warga negara sama-sama bertanggung jawab memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Hadirin yang berbahagia,
Keempat, warganya menjaga hubungan harmonis dengan Allah (ḥablun min Allāh) dan sesama manusia (ḥablun mina an-nās). Allah Swt berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 112:
… إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ …
“… kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …”
Hubungan harmonis dengan Allah dan sesama manusia menjadi tolok ukur kualitas suatu bangsa. Negeri yang diridhai Allah adalah negeri yang mampu menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual dan sosial.
Mengabaikan salah satunya akan menimbulkan ketimpangan; terlalu fokus pada hubungan vertikal tanpa kepedulian sosial, atau sebaliknya, hanya berorientasi pada hubungan sosial tanpa pijakan iman, akan menjauhkan kita dari keberkahan.
Kelima, negeri itu mengembangkan pergaulan yang setara antarbangsa dan antarsuku, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13:
إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا …
“Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …”
Saling mengenal antarbangsa dan antarsuku adalah pintu bagi kerja sama dan kemajuan bersama. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, semangat ini menjadi modal penting untuk membangun toleransi, menghindari konflik horizontal, dan menguatkan solidaritas nasional.
Islam menegaskan bahwa perbedaan adalah sunatullah, dan darinya lahirlah kekayaan budaya yang dapat menjadi sumber kekuatan bangsa.
Keenam, umatnya menjadi khaira ummah, umat terbaik yang bermanfaat bagi manusia, sebagaimana disebutkan dalam Surah Ali Imran ayat 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ …
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …”
Hadirin jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,
Bagi Muhammadiyah, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim harus terus dibangun menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan, menuju peradaban utama yang bermanfaat bagi seluruh rakyat.
Dalam hal ini, nasionalisme adalah semangat yang tidak boleh pudar. Majelis Tarjih menegaskan bahwa nasionalisme bukan sekadar slogan cinta tanah air, tetapi spirit yang diwujudkan dalam pemikiran dan tindakan nyata untuk membangun bangsa secara amanah dan bertanggung jawab, terutama di tengah tantangan global dan kompleksitas masalah kebangsaan.
Hadirin jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Al-Qur’an memberikan teladan emosional yang kuat tentang kecintaan pada tanah air. Dalam Surah Al-Qashash ayat 85, Allah Swt berfirman:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ …
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali …”
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa ayat ini turun saat Rasulullah Saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Dalam perjalanan di Juhfah, Rasulullah merasakan kerinduan mendalam kepada tanah kelahirannya, Makkah.
Melalui ayat ini, Allah menegaskan bahwa Rasulullah akan kembali ke Makkah, yang terbukti pada peristiwa Fatḥu Makkah dan Haji Wada’. Ini menunjukkan bahwa kecintaan kepada tanah air adalah fitrah, bahkan dimiliki oleh Rasulullah Saw, dan menjadi bagian dari misi kenabian untuk menegakkan kebaikan di negeri sendiri.
Hadirin yang berbahagia,
Nasionalisme dalam perspektif Muhammadiyah bukanlah chauvinisme yang membutakan atau sekadar romantisme sejarah. Ia adalah etos kerja untuk mewujudkan cita-cita nasional yang selaras dengan ajaran Islam: memakmurkan bumi, menjaga keadilan, membangun harmoni sosial, dan mengangkat derajat bangsa di hadapan Allah dan dunia.
Indonesia sebagai Darul Ahdi wasy-Syahadah adalah panggung bagi umat Islam untuk membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat berjalan seiring dengan ajaran Al-Qur’an, menuju negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Marilah kita wujudkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari, dengan bekerja keras, menjaga amanah, dan berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Semoga Allah Swt meridhai perjuangan kita dan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang penuh berkah dan kebaikan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua